Aktual.com, Jakarta – Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) senilai Rp695 triliun berpotensi meningkatkan jurang ketimpangan pendapatan. Pasalnya, skema program tersebut hanya difokuskan untuk korporasi besar.
Menurut Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES), Suroto, korporasi besar itu diberikan berbagai bentuk skema pendanaan seperti restrukturisasi, subsidi bunga, dana penempatan, modal penyertaan, pengadaan bantuan sosial dan lain lain.
“Sementara alokasi sebesar Rp124 triliun untuk UMKM dan Koperasi saja semua dialokasikan melalui mekanisme bank. Sementara bank dalam situasi seperti ini pasti semakin hati-hati salurkan pembiayaan,” ujar Suroto dalam keterangan tertulisnya, Jakarta, Kamis (13/8).
Berdasarkan laporan lembaga riset Internasional Credit Suisse pada akhir tahun 2019, 82 persen dari 173 juta orang dewasa Indonesia hanya memiliki kekayaan di bawah 10.000 dolar AS. Jauh di atas rata-rata dunia yang hanya 58 persen.
Artinya, sebelum pandemi Covid-19 mewabah, kesenjangan kepemilikkan kekayaan terbilang jauh lebih parah dari rata-rata internasional.
“Hal yang paling menyedihkan lagi adalah ternyata dana bansos (bantuan sosial) yang dikucurkan itu ternyata juga tidak memberikan dampak multiplier ekonomi secara signifikan. Justru, sekali lagi, hanya memperkaya pelaku usaha korporat besar. Ini dapat dilihat dari pemenangan lelang dari bansos yang ada,” ujar Suroto.
Krisis ini, katanya, ternyata justru hanya meningkatkan akumulasi dan konsentrasi pendapatan dari segelintir pemilik korporat besar. Ini bukan hanya menghambat proses akselerasi pemulihan ekonomi, tapi juga akan meningkatkan jurang kesenjangan sosial ekonomi.
Sementara itu, hanya 1,1 persen dari orang dewasa yang memiliki kekayaan di atas 100.000 dolar AS. Jauh sekali di atas rata-rata dunia yang angkanya hingga 10,6 persen.
“Kondisi ketimpangan kekayaan atau Rasio Gini kekayaan kita sudah sangat tinggi sekali, yaitu 0,83. Diperjelas dalam laporan Suisse tersebut, hanya 1% kuasai 45 % kekayaan nasional,” ungkapnya.
Suroto mengatakan, jika program PEN terus dilakukan dengan skema tersebut, maka dikhawatirkan akan menyebabkan ancaman baru yang lebih serius. Bukan saja ancaman ekonomi, tetapi juga ancaman sosial.
“Kalau skema program yang dikembangkan seperti ini maka ada akan berdampak pada ancaman lebih serius dari sekedar persoalan ekonomi. Kemungkinan munculnya chaos dan krisis sosial politik justru akan mengemuka dan akan sulit sekali untuk dikendalikan dan dipulihkan,” tegas Suroto.
Artikel ini ditulis oleh:
A. Hilmi