Jakarta, Aktual.com – Komisi Pemilihan Umum (KPU) resmi menutup pendaftaran pasangan calon Kepala Daerah, Minggu (6/9) malam. Dari 270 daerah yang melaksanakan Pilkada, tercatat ada 687 pasangan calon (Paslon) yang bakal mengikuti Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Rinciannya sebagai berikut: 22 paslon Cagub – Cawagub, 570 paslon Cabup – Cawabup, dan 95 paslon Cawalkot – Cawawalkot.

Di tengah situasi pandemi Covid-19 yang belum usai, jumlah pasangan calon itu tentu luar biasa. Sebab dalam kenyataannya, pandemi ternyata tak menghalangi ramainya minat dan niat untuk menjadi Kepala Daerah.

Pertanyaan pentingnya tentu bukan seberapa banyak pasangan calon, melainkan sudah siapkah negara menyelenggarakan Pilkada serentak. Tidak hanya pada soal anggaran, melainkan juga ketentuan dan regulasi yang memastikan pilkada tetap aman untuk dilangsungkan. Pilkada tidak boleh mendatangkan resiko kesehatan bagi masyarakat.

Namun sayangnya, sebelum berlangsungnya Pilkada 9 Desember mendatang, masalah sudah datang. Pelanggaran atas protokol kesehatan Covid-19 sudah terjadi saat ratusan Kepala Daerah dan pendukungnya mendatangi KPU saat masa pendaftaran 4-6 September kemarin berlangsung. Bawaslu menyebut ada 243 dugaan pelanggaran protokol Covid-19 yang terjadi saat masa pendaftaran tersebut berlangsung.

Desakan untuk menunda penyelenggaraan Pilkada pun menguat. Faktor kesehatan masyarakat dianggap jauh lebih penting daripada penyelenggaraan Pilkada.

Opsi tersebut tentu tidak boleh diabaikan. Sebab praktik di sejumlah negara, memungkinkan pemilihan umum untuk ditunda. Upaya untuk mencegah pandemi ini meluas dianggap lebih utama dibandingkan pelaksanaan pemilu.

Karena itu, belajar dari hal ini, Pilkada 2020 boleh saja ditunda demi kepentingan dan keselamatan masyarakat. Sebab tidak ada hal yang lebih urgensi dan penting daripada keselamatan masyarakat.

Presiden Joko Widodo harusnya mendengar pertimbangan ini. Ketiadaan batas waktu berakhirnya bukan alasan penting untuk bersikeras menyelenggarakan Pilkada.

Sebab, sekali lagi, tidak ada pertimbangan atau kepentingan apapun yang boleh lebih tinggi dari keselamatan rakyat (masyarakat). Presiden Joko Widodo harus sadar akan posisinya sebagai pemimpin seluruh rakyat Indonesia. Dan, bukan pemimpin elit politik atau bahkan petugas partai.

Salus Populi Suprema Lex Esto