Jakarta, Aktual.com – Harapan besar masyarakat Riau di sekitar Blok Rokan kini bak terhempas dalam kekecewaan yang paling dalam. Pasalnya, masyarakat sudah berharap bakal segera menikmati gurihnya hasil minyak bumi mereka yang selama 94 tahun mereka tonton disedot oleh perusahaan Chevron.

Sebab, hampir pasti, sisa limbah B3 berupa Tanah Terkontaminasi Minyak (TTM) yang akan dinikmati mereka ke depan ini. Demikian diungkapkan Direktur Eksekutif CERI, Jumat (21/5).

“Mereka sudah mendengar informasi yang beredar, bahwa saat penyerahan alih kelola Blok Rokan dari PT Chevron Pasifik Indonesia (CPI) kepada Pertamina Hulu Rokan adalah tanggal 8 Agustus 2021, namun ternyata hingga sekarang masih tersisa sekitar 7 jutaan metrik ton limbah TTM yang berada di area operasi PT CPI, termasuk di dalam Tahura dan Pusat Pelatihan Gajah Minas,” ungkap Yusri.

Menurut Yusri, meskipun hal itu telah memantik kemarahan Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau pada 18 September 2018 silam, namun kemarahan itu tidak disalurkan melalui tuntutan hukum atau upaya lain yang relevan dan efektif.

“Demikian juga Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Provinsi Riau yang melalui Kepala Seksi Pengaduan dan Penyelesaian Sengketa, Dwipayana mengatakan soal keberadaan limbah beracun itu telah berlangsung lama, lebih dari 15 tahun dilaporkan masyarakat namun sampai kini PT CPI tidak punya itikad baik menyelesaikan tanggungjawabnya. Tetapi Pemprov Riau hingga sekarang juga ternyata cuma bermasygul, seperti terhanyut dalam lamunan tanpa arah,” ungkap Yusri.

Sebab itu, kata Yusri, wajarlah jika ‘Kepala Suku’ Yayasan Anak Rimba Indonesia (Arimbi) Mattheus mulai berkeluh kesah ke media dan menyatakan ucapan Manager Corcom PT CPI Sonitha Purnomo yang mengatakan bahwa PT CPI akan bertanggungjawab terhadap lingkungan itu hanya pencitraan.

“Bagi kami, ucapan Sonito atau CPI itu malah hanya pepesan kosong semata. Bagaimana mungkin bisa menyelesaikan limbah beracun sebanyak dan di luas area yang demikian dalam tempo tiga bulanan? Beranikah CPI menjaminkan sejumlah uang yang cukup sebagai retensi untuk membersihkan limbah itu hingga tuntas jika tidak selesai hingga sehari sebelum tanggal penyerahan Blok Rokan ke Pertamina?,” lanjut Yusri.

Lagi pula, kata Yusri, Presiden Direktur CPI Albert Simanjuntak di depan DPR RI pada 20 Januari 2020 telah berkilah bahwa setiap tanah terkontaminasi minyak apabila ingin dimasukan sebagai biaya cost recovery harus mendapat izin dari KLHK serta persetujuan SKK Migas, yang harus mengintrol berapa luas tanah terkontaminasi, baru mereka bisa laksanakan.

“Lalu kilah Albert, sebenarnya awal 2018 CPI telah melaporkan ke SKK Migas agar diizinkan menyelesaikan pemulihan TTM sebelum kontraknya di blok Rokan berakhir. Sebab CPI telah menginventori terhadap titik tanah yang terkontaminasi dan meminta SKK Migas menyetujui anggaran pemulihan itu. Namun SKK Migas membatasi anggaran yang bisa dimasukan dalam cost recovery. Sebab itulah, banyak titik-titik yang tidak bisa dipulihkan dan yang tersisa itu jadi tanggungjawab SKK Migas,” beber Yusri.

Lebih lanjut Yusri membeberkan, Gubernur Riau pada 28 April 2021 pun telah berkirim surat ke Menteri ESDM Cq Dirjen Migas untuk menanyakan soal apa realisasi dari workshop sosialisasi pemulihan TTM pada 9 April 2021 dan keberlanjutan program pemulihan TTM tersebut. Surat yang diminta harus dijawab paling lambat tanggal 4 Mei. Sebab Gubernur merasa bertanggung jawab harus meneruskan keluhan masyarakatnya.

“Namun, jawaban Dirjen Migas ke Gubernur Riau dalam surat tertanggal 4 Mei 2021 terkesan sangat normatif bahkan cuci tangan. Karena isinya justru mengatakan bahwa selama sisa jangka waktu kontrak 8 Agustus 2021, PT CPI akan tetap melanjutkan kegiatan pemulihan limbah TTM sesuai Work Program dan Budget yang telah disetujui oleh SKK Migas. Lalu, siapa yang akan bertangungjawab jika pembersihan limbah itu tidak selesai hingga 8 Agustus 2021?,” ungkap Yusri.

Anehnya kata Yusri lagi, bak kura-kura dalam perahu, surat Gubernur itu bukannya ditujukan bahkan tidak ditembuskan ke pihak SKK Migas sebagai pihak yang paling bertanggungjawab persoalan limbah beracun ini.

“Jadi, masih kata Dirjen Migas, paska 8 Agustus 2021 kegiatan pemulihan TTM akan diselesaikan berdasarkan HOA antara PT CPI dengan SKK Migas kemudian untuk menyelesaikan pemulihan fungsi lingkungan di sekitar Blok Rokan yang belum selesai, maka SKK Migas akan menugaskan Pertamina Hulu Rokan, entah dengan biaya yang harus dibebankan kepada siapa,” ungkap Yusri.

Yang pasti, kata Yusri, dari penjelasan Dirjen Migas itu, telah semakin jelaslah bahwa telah terjadi pelanggaran oleh CPI terhadap UU Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup serta Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 128 tahun 2003 Tentang Tatacara dan Persyaratan Tehnis Pengolahan Limbah Minyak Bumi dan Tanah Terkontaminasi Oleh Minyak Bumi Secara Biologis, yang membawa konsekwensi ancaman pidana.

“Sehingga, pihak penegak hukum harus segera bertindak sebelum para petinggi Chevron pulang ke negaranya atau keluar jurisdiksi hukum kita,” beber Yusri.

“Menurut informasi yang kami peroleh, sejak awal tahun 2020 semua anggaran sekitar USD 400 juta atau setara Rp 5,7 triliun yang bersumber dari cost recovery untuk pemulihan limbah TTM ini, dikelola oleh SKK Migas. Lalu ternyata, sejak pertengahan tahun 2020 hingga saat ini tidak ada kegiatan pemulihan TTM tersebut dilakukan, yang ada hanyalah menyelesaikan kontrak yang lama,” imbuh Yusri.

Menurut Yusri, jika asumsi jumlah total TTM mencapai 7 juta metrik ton dengan biaya pemulihan USD 110 per metrik ton, maka dibutuhkan anggaran sekitar USD 770 juta atau setara RP 11 triliun uang negara untuk pemulihan total TTM di daerah operasi Chevron setelah dioperasikan oleh Pertamina Hulu Rokan.

“Kiranya, wajar kita semua bertanya mengapa kegiatan pemulihan limbah TTM itu tidak berjalan? Lalu dikemanakan angaran pemulihan limbah TTM itu?,” ungkap Yusri.

Wajar, kata Yusri, jika yang ada yang mengkuatirkan, jangan-jangan ada pihak yang mendapat manfaat pribadi jika dana tersebut bisa mengendap lama di bank dari pada digunakan untuk memulihkan limbah TTM.

“Kami juga mendapat informasi ada beberapa perusahaan sudah pernah menawarkan teknologi insitu untuk mengolah limbah B3 TTM bisa dioperasikan di sekitar Blok Rokan dengan biaya yang jauh lebih efisien. Hanya sekitar USD 50 hingga USD 70 per metrik ton biaya pemulihan TTM nya. Teknologi itu sudah pernah dipresentasikan di depan pejabat SKK Migas dan KLHK dengan apresiasi yang baik. Bahkan sudah digunakan di lapangan Duri dengan hasil sangat memuaskan dari tahun 2000 hingga 2016. Termasuk menginjeksi pasir-pasir yang terikut dalam minyak yang diproduksi ke dalam sumur injeksi. Anehnya, tawaran telnologi ini tidak pernah ditanggapi dan diaplikasi oleh pihak PT CPI di Blok Rokan hingga saat ini,” beber Yusri.

Padahal, kata Yusri, selama ini biaya untuk mengangkut limbah TTM dari Blok Rokan ke lokasi pemusnahan di PPLI Cibinong atau pabrik semen di Pulau Jawa bisa mencapai sekitar Rp 900.000 per metrik ton. Belum termasuk biaya pemusnahan sekitar Rp 400.000 hingga Rp 600.000 per metrik ton. Sehingga total biaya pemusnahaan bisa mencapai Rp 1,5 juta atau USD 110 hingga USD 150 per metrik ton.

“Sebab itu lah, heran bin aneh jika SKK Migas tidak menerima dan mengaplikasikan solusi yang baik dan lebih effisien untuk memulihkan kondisi lingkungan hidup di wilayah Blok Rokan sekaligus untuk menyelamatkan keuangan negara dan lingkungan hidup masyarakat setempat,” ungkap Yusri.

Ini jawaban PT CPI (Chevron Pasifik Indonesia) oleh Sonitha Poernomo Manager Corporate Communication soal Limbah TTM (Tanah Terkontaminasi Minyak) di Blok Rokan:

1.Menurut PT CPI:
Program pemulihan ini bertujuan untuk mengelola dampak minyak bumi dari operasi masa lalu yang pada kebanyakan kasus telah terjadi sebelum praktik pengelolaan limbah diatur secara spesifik dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia.

Menurut CERI:
CERI tidak mempersoalkan limbah itu berasal dari masa lalu atau masa kemarin ataukah masa sekarang pengelolaan oleh PT CPI, tetapi hukum termasuk peraturan perundangan yang berlaku sekarang di negara ini (hic et nunc), mengharuskan pertanggung jawaban PT CPI atas kondisi yang sekarang sebelum ditinggalkan PT CPI pada 8 Agustus 2021, sebab bagaimanapun, limbah itu adalah limbah dari usaha/proses produksi PT CPI.”

Mohon kiranya PT CPI dapat menunjukkan -jika ada- pasal peraturan perundangan yang membebaskan PT CPI dari tanggung jawab (acquit et de charge) soal keberadaan limbah yang masih ada dan banyak itu.

2. Menurut PT CPI:
Program pemulihan lahan PT CPI dilaksanakan berdasarkan aturan pengelolaan limbah secara spesifik dan perkembangan dari pekerjaan pemulihan ini dilaporkan oleh PT CPI kepada Pemerintah di tingkat pusat kepada SKK Migas dan KLHK maupun di tingkat daerah kepada DLHK Riau, DLH kabupaten/kota, perwakilan SKK Migas, ESDM Riau dan instansi terkait lain.

Menurut CERI:
Bukan sesuai atau tidak sesuai aturan dan seterusnya yang CERI pertanyakan -itu soal nanti-, tetapi hasilnya berupa fakta terdapatnya limbah beracun yang sedemikian banyak.

-Bukan prosedur atau formalitas pengawasan dan seterusnya yang CERI tanyakan, tetapi “hasil prosedur dengan segala formalitasnya itu”, ialah adanya limbah beracun yang sangat banyak dan beracun dalam jumlah yang begitu banyak itu, serta tanggung jawab PT CPI atas keberadaan limbah beracun itu.

3. Menurut PT CPI:
Audit lingkungan independen telah memberikan validasi bahwa PT CPI mematuhi hukum dan peraturan yang berlaku dalam program pemulihan atas nama Pemerintah Indonesia, sebagai bagian dari operasi berdasarkan Rokan Production Sharing Contract (PSC).

Menurut CERI:
Pendapat auditor lingkungan independen itu hanya pendapat/ perspektif, bukan fakta dan yang jelas belum ada hasil audit investigatif.

Auditor bisa jadi akan berpendapat lain setelah audit investigatif. Namun, faktanya adalah adanya limbah beracun sedemikian banyak.

4. Menurut PT CPI:
PT CPI bekerja sama dengan SKK Migas untuk mendukung transisi yang lancar untuk semua operasi Rokan, termasuk pekerjaan pemulihan yang tersisa ke Pemerintah Indonesia.(PT CPI).

Menurut CERI:
Harap PT CPI tidak mengidentikkan Pemerintah Indonesia dengan (oknum) Pejabat Instansi Pemerintah Indonesia. Pemerintah Indonesia bekerja hanya untuk Kepentingan Negara, tidak bisa lapar dan tidak butuh uang untuk dirinya sendiri, sehingga tidak mungkin melakukan mal fungsi semisal untuk korupsi. Untuk apa? Korupsi uang Negara untuk Negara?