Berita tentang IPO Pertamina belakangan ini semakin riuh dan semakin nyaring ditengah publik. Banyak pendapat dan banyak argumen saling berbantah atau saling mendukung bermunculan. Semua punya kepentingan, baik yang membantah maupun yang mendukung.
Saya tidak menemukan objektifitas dibanyak argumen itu meski masih ada nilai-nilai ilmiah yang disampaikan. Ya begitulah isu ketika sudah masuk dalam atmosfir politik. Semua akhirnya berargumen dengan pemikiran sesuai posisi politik masing-masing.
Saya tak ingin berbantah lisan membantah pendapat yang lain atau mendukung pendapat yang lain pula. Tulisan ini hanya sebuah pemikiran nyeleneh yang terpikirkan saat menyepi merenung diantara kesepian Jakarta yang masih PPKM.
Pemikiran ini juga bukan pemikiran ilmiah atau berbasis keilmuan dari bangku sekolah, tapi hanya sebuah pemikiran anak desa yang tak luntur darahnya mencintai bangsanya.
Holding dan sub holding, perusahaan induk dan anak perusahaan ibarat seorang ibu dengan anak gadisnya. Seorang ibu yang bergelimang harta pemberian warisan dengan anak gadisnya yang bertumbuh cantik nan ayu dan jadi rebutan para lelaki.
Ada yang berhasrat menikahinya, ada juga yang berniat hanya ingin menikmati sesaat sang gadis demi sebuah kenikmatan, sementara sang Ibu tak terlalu pusing dengan status menikahnya apakah resmi atau tidak, yang penting sang ibu mendapat hadiah dari para lelaki yang datang.
Sang Ibu berkata : “Putriku, tidaklah masalah bagiku soal status pernikahanmu, yang penting Ibu dapat hadiah yang akan Ibu berikan kepada para lelaki yang Ibu temani hingga kamu lahir, dan entah siapa ayahmu diantara lelaki itu, dan selebihnya akan Ibu gunakan membuka warung baru untuk masa depanmu.”
Miris dan ironis, sang Ibu yang bergelimang harta warisan dari leluhur ternyata miskin karena harta tak dimilikinya secara hukum, sementara Putri ayu yang tak minta dilahirkan harus menderita membanting diri memenuhi hasrat sang Ibu.
Sang Putri bahkan harus rela diperjual belikan oleh Ibu tanpa bisa melawan meski ia kehilangan kehormatan sebagai ahli waris yang seharusnya juga bergelimang harta, tapi nasib masa sepannya harus jatuh berharap rejeki dari warung.
Sungguh menyedihkan ketika sang Ibu menjajakan putrinya kemana-mana. Astagaaaa…!! Jidatku ketepok meski tak berpengaruh kesiapapun.
Begitulah liarnya pemikiran saya, mungkin terlalu berani membandingkan Pertamina sebagai seorang ibu yang melahirkan Putri dan menjadi gadis ayu yang pada akhirnya dipaksa menjadi budak pemenuh hasrat para pihak yang menjadikan Pertamina sebagai teman tidur semata, menikmati manis dan hangatnya tubuh Pertamina yang bergelimang warisan dari leluhur Negeri.
Ibarat seorang Ibu yang ditemani tidur oleh banyak pria hingga dirinya tak tau siapa sebetulnya ayah dari putrinya. Ya Tuhan, maafkan aku yang terlalu kasar membandingkan ini. Saya yakin Tuhan maklum karena saya hanya anak desa yang sedang merenung.
Lantas bagaimanakah sesungguhnya keberadaan sang Putri Nan Ayu Jelita ini, haruskan dipaksa diperjual belikan demi hasrat sang Ibu dan para lelakinya? Begitulah pertanyaan yang kemudian muncul mengganggu hisapan cerutu kampung yang berasap di tanganku. Apakah memang dia harus dipaksa bagai kupu-kupu malam? Apakah tak ada jalan lain? Bukankah lebih baik sang ibu menegaskan diri dan menolak permintaan yang identik dengan pemerasan para oligarki? Ahhh mungkin saya akan dikata berlebihan, norak dan tidak paham tentang IPO. Ya sudahlah, kuterima nanti kata-kata itu jika tulisan ini dibaca oleh para pekerja ologarki.
Tak terasa cerutu ditanganku semakin pendek dan akan habis. Suara riuh tiba-tiba bersahut-sahutan ditelingaku, seolah nyata, dan aku mengenali suara-suar itu adalah suara dari parah sahabat dari kawanku yang menolak rencana IPO anak usaha Pertamina. Haruskah aku juga ikut menolak? Atau haruskah aku berlari lagi bersama kawan-kawan menolak IPO ini? Perenunganku belum selesai, masih mencari-cari jawaban, mengapa Pertamina tak mampu menjadi raksasa harta yang mestinya menurunkan warisan bukan utang apalagi harus menjual diri.
Ahhhh..! Nantilah kita teruskan lagi, aku harus bertanya kepada batang padi yang mulai menua tanpa butir padi.
Jakarta, 8 Agustus 2021
Oleh: Ferdinand Hutahaean
Anak Desa Yang Memandangi Batang Padi..!