Jakarta, Aktual.com – Pengamat Kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto, menegaskan bahwa balam Peraturan Kapolri nomor 6/2019 tentang penyidikan tindak pidana pasal 36, pengawasan penyidik dilakukan oleh atasan penyidik dan pejabat pengemban pengawasan penyidikan.
“Artinya, memang AKBP Gafur ini diduga tidak bertindak sendiri. Ada unsur atasan yang berwenang melakukan pengawasan,” tukas Bambang, Senin (6/9).
“Jadi agak ironis bila hanya mengejar AKBP Gafur,” sambungnya.
Hal tersebut diungkapkan menyusul adanya dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan mantan Kasubdit Harda Ditreskrimum Polda Metro Jaya AKBP dalam membuka kembali perkara yang sudah dihentikan penyidikannya, maupun proses penetapan status tersangka terhadap R. Lutfi Bin Sech Abdullah Bin Awab Altway yang dilakukan tanpa memeriksa secara menyeluruh pihak-pihak yang berkaitan dengan perkara.
Untuk itu, Divisi Propam Mabes Polri dituntut harus menelisik lebih jauh dan mengungkap dugaan motif maupun kepentingan atasan AKBP Gafur Siregar, baik dalam rangka proses penyidikan R. Lutfi ataupun pihak-pihak yang berkepentingan “menyelamatkan” AKBP Gafur Siregar dari sanksi dugaan pelanggaran kode etik.
Divisi Propam Mabes Polri sebagai penegak disiplin internal menurut Bambang harus mengungkap secara utuh dalam rangka menjaga kredibilitas dan citra polri, sekaligus mengangkat marwah Divpropam sebagai penegak disiplin internal.
Seperti diketahui kalau R.Lutfi melaporkan AKBP Gafur Siregar Cs ke Propam Polri atas dugaan kesewenang-wenangan dalam penetapan status tersangka dirinya dalam perkara memasuki pekarangan tanpa izin yang berhak (pasal 167 KUHP).
Dalam proses penyelidikan dugaan pelanggran kode etik oleh AKBP Gafur Cs di Paminal Polri, seperti tertuang dalam surat pemberitahuan perkembangan hasil pemeriksaan propam (SP2HP2) tertanggal 12 Oktober 2020 yang ditandatangani Brigjen Nanang Avianto, saat ini sudah berpangkat inspektur jenderal (Irjen), dengan tegas disebutkan:
“Ketika dilakukan gelar peningkatan status tersangka terhadaap terlapor (Lutfi), penyidik belum melakukan pemeriksaan secara menyeluruh terhadap pihak-pihak yang terkait dengan perkaranya yakni: Dinas Perumahan Pemda DKI Jakarta, Direksi PTPN XI (pemilik asal SHGB no.1444) dan Tim Pelaksanaan Tugas Penelitian Data, Yuridis, administrasi dan Data Fisik dari BPN Kota Jakarta Pusat, serta ahli pertanahan. Bahwa tersangka juga memiliki legalitas kepemilikan berupa Eigendom Verponding No 8923 yang tercatat di BPN Kota Jakarta Pusat”
AKBP Gafur Siregar Cs akhirnya disidangkan di Biro pertanggungjawaban profesi (wabprof) pada 5 Agustus 2021. Hanya saja Wabprof tidak pernah memberitahukan hasil persidangan tersebut kepada R.Lutfi, sebagaimana Paminal Polri selalu mengirimkan Salinan SP2HP kepada pihak pelapor.
Karo Wabprof Brigjen Anggoro Sukartono yang coba dikonfirmasi terkait hasil persidangan tersebut memilih bungkam. Anehnya sidang wabprof digelar beberapa hari sebelum telegram rahasia kapolri (TR) justru menunjuk AKBP Gafur Siregar Kapolres Kota Baru, Kalimantan selatan sebagai bagian dari promosi jabatan.
Penunjukan AKBP Gafur Siregar sebagai Kapolres Kota Baru seolah mengabaikan hasil penyelidikan Paminal Polri yang secara terang menegaskan kekeliruan dalam proses penetapan tersangka Lutfi. Hasil penyelidikan yang seharusnya menjadi rujukan dalam proses penentuan dan pemberian sanksi terhadap AKBP Gafur Siregar, terbukti kandas dengan promosi jabatan yang diperoleh AKBP Gafur Siregar.
“Ada pameo di internal polri, kalau polantas itu malaikat di jalanan, bagian SDM itu malaikat di internal. Sebanyak-banyaknya setoran di bawah, ujungnya di SDM juga” celetuk Bambang.
Problem integritas menurut Bambang selalu menjadi pekerjaan rumah yang tidak pernah tuntas, termasuk di polri. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya merit system dalam organisasi. Sudah menjadi rahasia umum ketidaksinkronan reward and punishment sehingga polri selalu gagal mereformasi diri.
Hal senada sebelumnya diungkap oleh Pakar Hukum Pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta Profesor Mudzakir. Ia juga mendorong Divisi Profesi dan Pengamana (Divpropam) Mabes Polri menelisik motifasi maupun kepentingan di balik keputusan AKBP Gafur Siregar yang membuka kembali penyidikan perkara yang sudah dihentikan penyidikannya (SP3).
Dalam ilmu hukum pidana kata Mudzakir jika sebuah objek yang disidik itu tidak termasuk perbuatan pidana, bukan perbuatan pidana, maka proses penyidikan mutlak tidak bisa dibuka kembali karena sudah disimpulkan sebagai bukan perbuatan pidana, atau dikenal dengan SP3 permanen. Yang kedua, jika SP3 disebabkan karena kurang cukup bukti, maka bisa di SP3 demi kepastian hukum.
Dalam kasus yang melibatkan penyidikan AKBP Gafur Siregar, Mudzakir melihat upaya menyidik kembali perkara yang telah di SP3 sebagai sebuah kekeliruan, cacat hukum, sehingga tidak bisa dibuka kembali.
Kepada wartawan, Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Pol Yusri Yunus membenarkan AKBP Gafur telah menjalani sidang kode etik terkait penanganan kasus saat menjabat Kasubdit II Ditreskrimum Polda Metro Jaya. Namun setelah dilakukan sidang dan pemeriksaan, Yusri menyampaikan yang bersangkutan tidak terbukti melakukan pelanggaran kode etik.
“Sudah dilakukan sidang dan Paminal Polri kemudian menyatakan M Gafur tidak bersalah dan tidak melanggar kode etik profesi dalam penanganan perkara tersebut,” ujarnya, Sabtu (28/8/21).
Artikel ini ditulis oleh:
Andy Abdul Hamid