Petugas gabungan dari Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten), Kesatuan Penjaga Laut dan Pantai (KPLP), Badan Keamanan Laut (Bakamla), Bea Cukai, Polair dan TNI AL memeriksa muatan kapal KM Ocean Carrier berbendera Hongkong di Perairan Pulau Sambu, Batam, Kepulauan Riau, Selasa (9/2). Petugas memeriksa muatan kapal setelah beredar info bahwa kapal yang berlayar dari Iran menuju Tiongkok tersebut diduga membawa uranium. Awalnya kapal dengan muatan pasir besi sebanyak 55.000 ton sesuai dengan manivest kapal tersebut kandas di Perairan Pulau Sabu, Batam. ANTARA FOTO/M N Kanwa/pd/16.

Jakarta, Aktual.com – Pengamat militer Soleman B Ponto menegaskan, selama ini banyak pihak yang tidak faham keberadaan Badan Keamanan Laut atau Bakamla, sehingga asal sesumbar diberbagai media terkait fungsi Bakamla.

Di antara yang tidak faham tersebut salah satunya, menurut dia, Anggota Komisi I DPR RI Bobby Adhityo Rizaldi yang menyatakan persoalan kapal China di Perairan Natuna Utara disebabkan belum adanya payung hukum yang mengatur kekuatan Bakamla.

“Pak Bobby itu tahu apa, salah besar itu pernyataan Pak Bobby,” ujar Soleman Ponto, Jumat (24/9).

Mantan Kepala Badan Intelijen Strategis ini menegaskan, berdasarkan UU Nomor 32 tahun 2014, tidak ada yang menyatakan Bakamla sebagai penegak hukum atau penyidik. Oleh karena itu tugas Bakamla hanya muter – muter di laut saja.

Sementara untuk pertahanan sudah jelas ada TNI AL yang mengawal pertahanan dan kedaulatan NKRI di laut. Berdasarkan UU No 5 tahun 1983 penegakan hukum di wilayah ZEE adalah TNI AL.

“Adanya Bakamla justru menambah ruwet di laut,” tegasnya.

Soleman memaparkan, Bakamla juga bukan Coast Guard. Karena petugas Coast Guard adalah sipil. Bakamla juga bukan seperti polisi yang bisa menilang jika ada pelanggaran seperti layaknya di darat. Oleh karena itu pernyataan yang disampaikan Bobby Adhityo Rizaldi adalah penggiringan opini atau pembelaan seakan – akan yang dilakukan Bakamla adalah benar.

“Sebagai anggota DPR, pak Bobby jangan lakukan itu, saya sebagai mantan perwira TNI AL tidak terima,” tandasnya.

Soleman menegaskan, Bakamla dibentuk oleh Undang-undang nomor 32 tahun 2014 tentang Kelautan. Tidak ada satu pasal pun dalam Undang-undang itu yang menyatakan bahwa Bakamla dibentuk untuk menjadi Coast Guard. Oleh karena itu, jika ada yang menyebut Bakamla sebagai Coast Guard adalah palsu. Karena yang berhak menyandang identitas Coast Guard adalah Kesatuan Penjaga Laut dan Pantai.

“KPLP adalah Coast Guard-nya Indonesia sebagaimana yang tertulis pada lenjelasan Undang-undang nomor 17 tahun 2008 tentang Pelayaran. Bakamla bikin kisruh dan lembaga itu sebaiknya dilebur dengan KPLP saja,” paparnya.

Soleman pun menduga, ada pihak – pihak yang membela Bakamla karena berharap sesuatu dari Bakamla. Padahal selama Bakamla berdiri justru pengadaan peralatannya berujung korupsi, seperti pengadaan radar. Jika tetap dipertahankan maka yang menjadi korban dan dirugikan adalah tetap rakyat.

“Yang jadi korban rakyat, karena perairan Indonesia dianggap high risk yang pada akhirnya membuat biaya menjadi tinggi dan harga – harga barang menjadi mahal. Masyarakat yang menanggung kerugian,” paparnya.

Sementara, Pengamat maritim dari National Maritime Institute (Namarin) Siswanto Rusdi mengatakan, sebagai wakil rakyat, harusnya Bobby memahami tentang hukum kelautan yang berlaku internasional. Laut Natuna Utara juga merupakan wilayah internasional atau Zona Ekonomi Eksklusif, sehingga bukan milik satu negara.

Menurut Rusdi, para pihak yang mempertanyakan adanya kapal perang China di Laut Natuna Utara juga harusnya fair. Bahwa di wilayah internasional itu ada juga kapal perang dari berbagai negara. Di antaranya Amerika Serikat, Perancis dan negara lain yang juga membawa peralatan perang. Harusnya mereka juga mengkritisi kapal perang dari Amerika Serikat, Prancis, Thailand, Vietnam dan negara lainnya.

Rusdi mengaku prihatin adanya pihak-pihak yang tidak faham wilayah internasional berkomentar seakan – akan wilayah internasional adalah milik Indonesia. Padahal dalam hukum kelautan internasional Zona Ekonomi Eksklusif tidak masuk wilayah negara manapun. Karena wilayah internasional maka kawasan itu bebas dilewati oleh berbagai kapal negara lain, termasuk militer dan lainnya.

Sebelumnya, dalam sebuah program di sebuah televisi swasta, Jumat (17/9) lalu, Anggota Komisi I DPR RI Bobby Adhityo Rizaldi menyatakan persoalan kapal China di Perairan Natuna Utara disebabkan belum adanya payung hukum yang mengatur kekuatan Badan Keamanan Laut (Bakamla). Oleh karena itu, Bobby menilai pengiriman KRI ke Natuna bukan untuk menilang atau menindaklanjuti sesuai proses hukum merupakan bentuk kegagapan yang disebabkan legislasi.

“Bakamla ibaratnya Polantas yang tidak bisa nilang. Kalo tidak bisa nilang bagaimana proses hukumnya, lagi-lagi TNI yang dikirim lagi dengan 5 kapal KRI ke Natuna. Ini kegagapan disebabkan tidak adanya legislasi mengenai siapa Coast Guard,” katanya.

Menurut Bobby legislasi soal Bakamla sebagai National Coast Guard atau Penjaga Pantai Nasional adalah sebuah upaya untuk tidak mengulang persoalan serupa. Politikus Golkar ini juga menyebut jika selama ini China selalu menghadirkan National Coast Guard di laut lepas Indonesia, maka yang harusnya menghadapi adalah sama-sama National Coast Guard.