Jakarta, Aktual.co —  Ada yang bilang, jika ada 1000 alasan bagi kita untuk menangis, maka kita pasti memiliki 1001 alasan untuk tersenyum.

Artinya, seberat apapun musibah dan masalah yang menimpa kita, sebenarnya itu tidak sebanding dengan nikmat dan karunia yang Allah limpahkan kepada kita. Jangan pernah kita mengeluh hanya karena diuji dengan berbagai ujian yang bertubi-tubi, karena sejatinya ada yang lebih menderita daripada kita, dan ternyata ia bisa bersabar.

 Salah satu buktinya adalah Abu Qilabah; ia diuji dengan buntungnya kedua tangan dan kedua kaki, pendengaran serta penglihatannya juga lemah. Tidak ada satu anggota tubuh pun yang berfungsi selain lisannya, tetapi ia mampu bersabar dengan sabar yang indah, bahkan malah bersyukur karena masih dikaruniai lisan yang senantiasa berdzikir. Ini mengingatkan kita dengan Nabi Ayyub. Iya, Abu Qilabah ialah Ayyub-nya umat ini.

Siapakah Abu Qilabah?
Abu Qilabah, namanya adalah Abdullah bin Zaid Al-Jarmi. Seorang ahli ibadah dan ahli zuhudnya penduduk Bashrah. Beliau banyak meriwayatkan hadits dari Anas bin Malik; salah satu dari tujuh shahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits. Beliau adalah orang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya, serta menjadi sahabat terdekat Ibnu Abbas Radhiyallahu anhum. Ibnu Hibban memasukkan nama beliau di dalam bukunya, Ats-Tsiqqât (5/3-5).

Di dalam buku ini pula, Ibnu Hibban meriwayatkan sebuah kisah menakjubkan, yaitu tentang kesabaran Abu Qilabah di dalam menghadapi berbagai musibah yang menimpanya. Berikut ini kisah yang disebutkan oleh Ibnu Hibban:
Abdullah bin Muhammad berkata, “Suatu hari, aku pergi ke tepi pantai dengan dalam rangka menjaga wilayah perbatasan. Waktu itu, kami berjaga-jaga di perkemahan di Mesir. Setibanya di ujung pantai, ternyata aku tiba di Bathihah.

Di Bathihah ini ada sebuah kemah yang dihuni oleh seorang lelaki yang sudah buntung kedua tangan dan kedua kakinya. Sementara pendengaran dan penglihatannya juga lemah. Tidak ada satu anggota tubuhpun yang berfungsi selain lisannya.
Dengan lisannya itu, ia senantiasa berdoa, “Allâhumma auzi’nî an ahmadaka hamdan ukâfî’u bihi syukra ni’matikal latî an’amta bihâ ‘alayya wafadhdhaltanî ‘alâ katsîrin mimman khalaqta tafdhîlâ…., ya Allah, berikanlah aku kemampuan untuk senantiasa memuji-Mu; pujian yang membuatku mampu memenuhi rasa syukur terhadap nikmat yang telah Engkau anugerahkan kepadaku, dan Engkau melebihkan aku  atas segenap makhluk-Mu.”

Abdullah bin Muhammad berkata, “Demi Allah, aku akan mendatangi orang ini, dan aku akan bertanya kepadanya bagaimana ia bisa mengucapkan perkataan ini; apakah ia faham dan tahu dengan apa yang diucapkannya itu?, ataukah ucapannya itu merupakan ilham yang diberikan kepadanya?

Aku lantas mendatangi lelaki itu. Aku mengucapkan salam kepadanya, dan aku katakan kepadanya, “Aku mendengar engkau berdoa, ‘Ya Allah, berikanlah aku kemampuan untuk senantiasa memuji-Mu; pujian yang membuatku mampu memenuhi rasa syukur terhadap nikmat yang telah Engkau anugerahkan kepadaku, dan Engkau melebihkan aku  atas segenap makhluk-Mu.’ maka nikmat apakah yang telah Allah anugerahkan kepadamu sehingga engkau memuji Allah atas nikmat tersebut?, dan kelebihan apakah yang telah Allah karuniakan kepadamu hingga engkau menysukurinya??”

Lelaki itu menjawab, “Tidakkah engkau melihat apa yang telah Allah perbuat terhadapku? Demi Allah, sekiranya Allah mengirim halilintar dari langit lalu membakarku, memerintahkan gegunungan lalu menghancurkanku, dan memerintahkan lelautan untuk menenggelamkanku, serta memerintahkan bumi untuk menelanku, maka itu hanya akan menambah rasa syukurku kepada Allah atas nikmat lisan yang diberikan kepadaku ini.

Tapi, wahai hamba Allah, engkau telah datang kepadaku, maka aku butuh bantuanmu. Engkau telah melihat sendiri bagaimana kondisi tubuhku. Aku tidak mampu untuk menolong atau menciderai diriku sendiri, aku tidak bisa berbuat apa-apa.

Sebelumnya, aku ditemani oleh anakku yang selalu datang pada waktu-waktu shalat, lalu ia mewudhukanku. Jika lapar, ia menyuapiku. Jika haus, ia memberiku minum. Tapi, sudah tiga hari ini, aku kehilangan dirinya. Kalau engkau berkenan, maka carilah dia. Semoga Allah merahmatimu.”

Aku pun berkata, “Demi Allah, tidak ada perjalanan yang berpahala agung di sisi Allah selain perjalanan demi membantu sesama seperti engkau.”

Maka, akupun pergi mencari anaknya yang telah beberapa hari hilang. Belum jauh berjalan, tiba-tiba aku berada di antara timbunan pasir. Ternyata aku menemukan seorang anak yang sudah diterkam dan dimakan oleh binatang buas. Aku pun mengucapkan, ‘Innâ lillâhi wa innâ ilaihi râji’ûn.’ Aku bergumam dalam hati, “Apa yang harus aku katakan kepada lelaki tua renta itu?”

Ketika hendak menghadap lelaki tua itu, tiba-tiba terlintas dalam benakku kisah Nabi Ayyub Shallallâhu alaihi wa sallam. Setelah aku bertemu dengannya, aku mengucapkan salam. Ia pun membalas salamku, dan berkata, “Bukankah engkau sahabatku tadi?”
“Ya.” Jawabku.
Dia bertanya, “Apakah engkau sudah melakukan untuk memenuhi hajatku?”
Aku balik bertanya, “Manakah yang lebih mulia di sisi Allah; Anda ataukah Nabi Ayyub?”
“Tentu lebih mulia Nabi Ayyub.”
“Apakah engkau tahu apa yang Allah lakukan terhadap dirinya. Bukankah dia telah diuji dengan harta, keluarga dan anak-anaknya?”
“Benar.”
“Bagaimana dia menghadapi kenyataan itu?”
“Beliau melalui itu semua dengan bersabar, bersyukur dan mengucapkan pujian.”
“Tetapi, bukankah kerabat dan orang-orang tercintanya tidak rela dengan itu semua?”
“Ya.”
“Bagaimana Allah mendapati beliau?”
“Allah mendapati beliau bisa melalui itu semua dengan bersabar, bersyukur dan mengucapkan pujian.”
“Tapi, bukankah ia menjadi bahan ejekan bagi orang-orang yang berjalan, apakah engkau tahu?”
“Ya”
“Bagaimana beliau mensikapi semua ini?”
“Dia menghadapi itu semua dengan penuh kesabaran, senantiasa bersyukur dan bertahmid. Sekarang, persingkatlah pembicaraanmu! Semoga Allah merahmatimu.”
Aku berkata, “Wahai kawan, anakmu, yang aku cari telah aku temukan di antara timbunan pasir. Ia diterkam dan dimakan binatang buas. Semoga Allah memberimu pahala yang besar dan melimpahkan kesabaran.”

Lelaki yang ditimpa musibah itu mengucapkan, “Alhamdulillah, segala puji bagi Allah. Dzat yang tidak menciptakan dari garis keturunanku seorang hamba pun yang bermaksiat kepada-Nya sehingga ia disiksa dalam api neraka.” Kemudian dia mengucapkan, “Innâ lillâhi wa innâ ilaihi râji’un.”  Ia menangis tersedu-sedu, kemudian menghembuskan nafasnya yang terakhir.

Seketika itu, akupun mengucapkan, “Innâ lillâhi wa innâ ilaihi râji’un.” Betapa besar musibah yang menimpaku.
Mayat lelaki itu, kalau aku tinggalkan pastilah dimakan binatang buas. Tetapi kalau aku urus, aku tidak bisa berbuat banyak. Lalu aku kafani dia dengan sorbanku. Aku duduk di sisi kepalanya sembari menangis.

Tiba-tiba saja ada empat orang lelaki masuk ke kemah tanpa permisi. Mereka bertanya, “Wahai hamba Allah, apa yang terjadi denganmu? Bagaimana kabarmu?” kemudian aku menceritakan kepada mereka tentang diriku dan lelaki ini. Mereka bertanya, “Bolehkah kami melihat wajahnya, siapa tahu kami kenal?”

Aku membuka wajahnya, keempat orang itu memperhatikan dengan seksama, kemudian menciumi mata dan tangannya. Lalu berkata, “Benar, selama ini matanya tidak pernah dipergunakan untuk melihat hal-hal yang haram. Telah sekian lama anggota tubuhnya hanya digunakan untuk bersujud tatkala orang-orang tertidur pulas.”

Aku pun bertanya, “Sebenarnya, siapakah orang ini?”
Mereka menjawab, “Abu Qilabah Al-Jarmi, teman dekat Ibnu Abbas. Orang ini sangat mencintai Allah dan Rasul-Nya Shallallahu alaihi wasallam.”

Kemudian kami memandikan jenazahnya, mengkafani dengan pakaian yang ada, kami menyalatkan dan menguburkannya. Setelah selesai, orang-orang itu pulang begitu juga saya pulang ke markas.

Menjelang malam, aku rebahkan tubuhku untuk tidur. Tiba-tiba aku bermimpi seperti seseorang yang tidur lalu mimpi berada di salah satu taman surga dikelilingi oleh dua bidadari diantara para bidadari surga. Mereka menyenandungkan, “Keselamatan atasmu berkat kesabaranmu, maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu.” (Ar-Ra’d: 24).
Aku bertanya, “Bukankah kamu ini temanku?”
Dia menjawab, “Ya.”
Aku bertanya lagi, “Darimana kamu mendapatkan kedudukan dan semua ini?”
Dia menjawab, “Inna lillâhi darajâtin lâ tunâlu illâ bish shabri ‘indal balâ’i wasy syukri ‘indar rakhâ’i ma’a khasyyatillâhi ‘azza wajalla fis sirri wal-‘alâniyah…., sesungguhnya Allah menyediakan derajat-derajat kemuliaan yang tinggi, yang tidak dapat dicapai kecuali melalui kesabaran ketika ditimpa musibah, dan bersyukur ketika dalam kenikmatan, yang disertai dengan rasa takut kepada Allah Azza wa Jalla, baik dalam keadaan sepi maupun ramai.”

Demikianlah, Allah benar-benar memberikan balasan yang sempurna untuk orang-orang yang bersabar dan bersyukur.

Oleh: Pranowo  (pranowo2006@yahoo.co.id)

Artikel ini ditulis oleh: