Jakarta, Aktual.com – Mudir Idaroh Wustho Jam’iyah Ahlu Thoriqoh Al-Mu’tabaroh An-Nahdliyah (JATMAN) DKI Jakarta, KH. Muhammad Danial Nafis dalam kajian Kitab Al-Hikam Al-Atho’iyyah di Zawiyah Arraudhah, Selasa (9/8), mengingatkan para jamaah agar jangan pernah memandang orang yang tidak menerima ilmu Tasawuf dengan pandangan merendahkan, karena bisa jadi dia kelak menjadi Tajuddin seperti Al-Imam Ibnu Atha’illah As-Sakandary Shohibul Hikam, yakni seorang yang dapat menggabungkan Ilmu Syariat dan Hakikat.

Al-Imam Ibnu Athoillah dan Al-Imam Al-Bushiri Shohibul Burdah merupakan murid Syekh Abul Abbas Ahmad bin Umar Al Mursi, sehingga pada saat itu menjadi masa keemasan Thoriqoh Syadziliyah. Al-Imam Ibnu Athoillah sebelum berjumpa dengan Syeikh Abul Abbas Al-Mursi merupakan ulama ahli fiqih yang kurang berkenan dengan ilmu tasawuf. Namun, setelah perjumpaan dan suhbahnya dengan sang guru mursyid itulah beliau dilimpahkan banyak anugrah oleh Allah hingga menjadi Imam (pemimpin) dalam dua mazhab, yakni mazhab dzahir (syariat) dan mazhab batin (hakikat).

Al-Hikam adalah Magnum Opus dari Tarekat Syadziliyah yang isinya merupakan kurikulum madrasah Syadziliyah. Maka dianggap bohong jika ada orang yang menyandarkan karangan kitab kepada Syekh Abul Hasan Asy-Syadzili, karena beliau tidak memiliki karangan kitab. Tetapi ajaran, silabus dan tata cara beliau wushul kepada Allah terekam oleh para muridnya, sehingga kalam-kalam beliau dihapal lalu ditulis setelah Syekh Abul Hasan AsySyadzili wafat.

Abah saya Abuya KH. Asy’ari Tafsir (Malang) membaca hikam lebih dari 40 tahun, selama ini saya belum berani membaca untuk mengajar sebelum meminta izin kepada beliau untuk membacanya agar diberikan Irsyad.

Al-Hikam adalah bahasa hikmah yang enak didengar namun sulit untuk dilakukan. Apalagi kalau tidak disertai Thoriqoh, maka Al-Hikam hanya sebatas kata-kata. Tidak bisa diamalkan dengan baik oleh Pembacanya yang tidak mengiringi Al-Hikam dengan Bacaan Dzikir dan arah Thoriqoh yang benar.

Hikmah Pertama

مِنْ عَلاَ مَةِ اْلاِعْـتِــمَادِ عَلَى الْعَمَلِ، نُقْصَانُ الرَّجَاءِ عِنْدَ وُجُـودِ الزَّ لــَـلِ

 

“Di antara tanda-tanda orang yang senantiasa bersandar kepada amal-amalnya, adalah kurangnya ar-raja’ (rasa harap kepada Allah) ketika terdapat kesalahan/kegagalan atau berharap kepada sesuatu yang bersifat fana(keduniawian).”

Rasulullah saw telah memberi rambu-rambu agar kita hanya menyandarkan diri kepada Allah, Beliau Bersabda:

“Tidaklah seseorang masuk surga dengan amalnya.” Ditanyakan, “Sekalipun engkau wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Sekalipun saya, hanya saja Allah telah memberikan rahmat kepadaku.”

Maka barangsiapa yang bergantung kepada selain Allah, maka bersiaplah untuk menerima kehancuran dan kekecewaan ketika tidak sesuai dengan ekspektasinya.

Asma’ Ash-Shomad hanya disebutkan satu kali di Al-Quran yakni Surat Al-Ikhlas, itu menunujukan bahwa pengaharapanmu/kunci ikhlas itu hanya engkau sandarkan kepada Allah.

Hati-hati bagi para murid/salik ketika bertindak dan beribadah, jangan sampai dia berharap dengan amalnya agar menjadi seorang wali atau kepentingan dunia.

Kekecewaan yang muncul itu sebagai timbal balik atas prilakumu yang tidak didasari karena Allah.

Kita harus paham bahwa kita tidak bisa memberi pilihan (keputusan). Karena kelahiran dan letak anggota tubuh saja kita tidak bisa menentukannya. Kenapa gak disini atau disitu?

وَرَبُّكَ يَخْلُقُ مَا يَشَاۤءُ وَيَخْتَارُ ۗمَا كَانَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ ۗسُبْحٰنَ اللّٰهِ وَتَعٰلٰى عَمَّا يُشْرِكُوْنَ

“Dan Tuhanmu menciptakan dan memilih apa yang Dia kehendaki. Bagi mereka (manusia) tidak ada pilihan. Mahasuci Allah dan Mahatinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan.”

Orang-orang barat mengajarkan paham rasionalitas dan empiris, sedangkan menurut Al-Imam Al-Ghazali Tasawuf itu ilmu Irfani yang bersifat intuitif. Dan cara kerjanya dengan Mukasyafatul Qolbi (ketersingkapan hati).

Maka tidak boleh bagi seorang murid menyandarkan kepada usahanya, kekuatannya, kemampuannya. Karena dia bisa melakukukan berbagai amal ibadah itu semata karena Taufiq, Anugrah dan Hidayah dari Allah.

Orang yang bersandar kepada Allah itu ketika mendapat kesenangan dan berbagai anugrah dia tidak akan takjub dengan amal yang ia lakukan, begitu pula ketika ekpektasinya tidak sesuai dia akan biasa-biasa saja , tidak kecewa.

Jangan sampai engkau merasa “kalau bukan karena saya, maka akan …., kalau saya gak sedekah kamu gak akan makan”. Karena itu penyakit hati yang menunjukan dia tidak ikhlas.

I’timad (Bersandar/kebergantungan) itu dibagi menjadi 4:
1. I’timad terhadap Nafsu/Diri (mengandalkan kemampuan diri) , ini adalah tanda celaka dan nestapa.
2. I’timad terhadap amal, ini adalah ciri golongan orang yang bodoh dan lalai (jahilihin wal ghofilin).
3. I’timad terhadap karomah dan ahwal, ini adalah ciri dia belum bersuhbah dengan mursyid, seorang pembimbing dalam jalan menuju Allah.
4. I’timad kepada Allah, ini adalah ciri orang yang Arifin dan Muwahhidin.

Hikmah Kedua

إِرَ ادَ تُــكَ الـتَّجْرِ يْدَ مَـعَ إِقَامَـةِ اللَّهِ إِ يَّـاكَ فيِ اْلأَسْبَابِ مِنَ الشَّـهْـوَ ةِ الْخَفِـيـَّةِ.
وَ إِرَادَ تُـكَ اْلأَسْبَابَ مَعَ إِقَامَةِ اللَّهِ إِ يَّـاكَ فيِ الـتَّجْرِ يْدِ اِنحِطَاطٌ مِنَ الْهِمَّةِ الْعَـلِـيـَّةِ

“Keinginanmu untuk tajrid, sementara Allah masih menegakkan engkau di dalam asbab, merupakan syahwat yang samar (halus). Dan keinginanmu kepada asbab, pada saat Allah sudah menegakkan engkau dalam tajrid, merupakan suatu kejatuhan dari himmah yang tinggi.”

Tajrid adalah suatu kondisi saat seseorang tidak memiliki ketergantungan kepada sesuatu selain Allah, dia dikondisikan tanpa melakukan amaliyah asbab dia bisa tetap hidup, yang yang seperti ini banyak.

Adakalanya Allah menempatkan seseorang dalam dunia asbab dalam kurun tertentu—misalnya, untuk mencari nafkah, mengurus keluarga, atau memimpin negara. Bila seseorang sedang Allah tempatkan dalam kondisi asbab itu, namun dia berkeinginan untuk tajrid (misalkan dengan ber-uzlah), maka itu dikatakan sebagai syahwat yang samar (lembut). Sebaliknya, saat Allah menempatkan seseorang dalam tajrid, namun dia justru menginginkan asbab, maka itu merupakan sebuah kejatuhan dari tekad dan cita-cita yang luhur.

Untuk mengetahui posisi kita, kita butuh mursyid dan arahan darinya. Jangan kita yang menilai dan menentukan posisi kita. Karena dalam sebuah thoriqoh tidak semua wirid dan hizib wajib kita baca. Untuk itu dihukumi dzalim kalau seseorang pergi dengan alasan kholwat atau dakwah, sedangkan anak istrinya terlantar tidak terurus. Orang itu harus tau posisinya, sadar posisinya dan duduk di posisinya, karena hidup itu sawang-sinawang (melihat kondisi orang lain enak, kurang sadar mensyukuri keadaanya).

Kita harus belajar ridha atas posisi, kondisi dan kedudukan yang Allah kehendaki atas kita saat ini. Syaikh Abdul Qodir Jailani pernah berkata: Engkau tidak akan sampai kepada Allah jika masih memiliki Iradah/Keinginan.

Tawakkal itu terletak di depan ketika kita menyusun tujuan, bukan setelah melakukan amal. Karena engkau harus tahu bahwa engkau diberikan inspirasi itu dari Allah. Dan Dia lah yang menggerakkanmu.

Dalam berikhtiar pun kita ini seringkali hanya bismillah di lisan, padahal seharusnya kita bismillah pada lisan, hati dan pikiran.. Maka kita diberikan solusi berupa Istikhoroh. Tapi bagi ahli thoriqoh, hendaknya Istikhoroh itu bukan hanya ketika mengalami kebingungan akan suatu pilihan.

Seorang jamaah bertanya, “Kenapa saya setelah mengaji di Zawiyah padahal perasaan saya mengaji karena Allah tapi kok banyak banget ujiannya, terutama ditinggal wafat istri?”. Ketahuilah bahwa ujian itu adalah Tanda perhatian Allah kepada panjenengan. Itu menguji bukti ketulusan dan kegigihanmu dalam jalan kesucian ini, karena jalan yang kita tempuh adalah Jalan para Nabi dan Rasul.

Allah akan menguji, karena Allah ingin tahu sesiapa dari kalian yang amalnya terbaik. Mana ada nabi dan rasul serta para kekasih Allah itu tidak diuji? Semuanya pasti diuji, kita itu hanya sering mendengar karomah dan kehebatannya karena selalu itu yang diceritakan. Tidak mengetahui secara detail bagaimana ibadah dan riyadhoh beliau, ujian-ujian apa yang sudah dilalui hingga Allah tempatkan mereka pada derajat yang tinggi.

Resume Kajian Kitab Al-Hikam Al-Atho’iyyah di Zawiyah Ar-Raudhah bersama KH. Muhammad Danial Nafis hafizhahullah, Selasa (9/8/2022).

Credit By Abdussalam Arfan dengan sedikit perubahan.

Artikel ini ditulis oleh:

As'ad Syamsul Abidin