Irawan Santoso Shiddiq
(Mudir JATMAN DKI Jakarta)
ﻓﻘﻴﻬﺎً ﻭﺻﻮﻓﻴﺎً ﻓﻜﻦ ﻟﻴﺲ ﻭﺍﺣﺪﺍ ﻓﺈﻧــﻲ ﻭﺣـﻖ ﺍﻟﻠﻪ ﺇﻳـﺎﻙ ﺃﻧﺼﺢ
ﻓﺬﻟﻚ ﻗﺎﺱ ﻟﻢ ﻳﺬﻕ ﻗﻠﺒﻪ ﺗﻘــﻰ ﻭﻫﺬﺍ ﺟﻬﻮﻝ ﻛﻴﻒ ﺫﻭ ﺍﻟﺠﻬﻞ ﻳﺼﻠﺢ
“Jadilah engkau ahli fiqih yang bertasawwuf jangan jadi salah satunya, sungguh dengan haq Allah aku menasehatimu. # Jika kamu menjadi ahli fiqih saja, maka hatimu akan keras tak akan merasakan nikmatnya taqwa. Dan jka kamu menjadi yang kedua saja, maka sungguh dia orang teramat bodoh, maka orang bodoh tak akan menjadi baik “. (Diwan Imam Syafi’i).
God is dead. Ini ungkapan dipopulerkan Nietszche. Bukan Tuhan mati betulan. Tapi bermakna Tuhan telah dibunuh dalam alam pikiran manusia. Nietszche mengkritik cara berpikir kaum modernis. Mereka yang menghamba pada neo qadariyya. Karena menganggap ‘being’ adalah perbuatan manusia. Bukan ‘Kehendak Tuhan.’ Alhasil Tuhan kemudian hilang dari cara berpikir manusia. Dan Nietszche menuding, itu dipengaruhi ajaran Socrates, sebagaimana dituliskan Plato. Nietszche menuding Socrates itu bak kriminal. Baginya, wajah Socrates bak pelaku criminal sebagaimana diteorikan Lambrosso.
Martin Heidegger lebih menuding lagi. ‘Being and Time’, kitabnya, menghajar habis cara berpikir filsafat, yang baginya itu bukan ‘berpikir.’ Dalam ‘The End of Philosophy,’ Heidegger menegaskan, ‘Berpikir itu hanya sebatas mengingat, menambah, mengurangi, artinya memahami sesuatu yang sudah kita ketahui.”
Heidegger tentu menampik ajaran Rene Descartes sampai Immanuel Kant. Kedua tokoh materialisme inilah yang ajarannya mempengaruhi dunia modern. Ajaran mereka merusak peradaban Nasrani di Eropa. Dan kemudian diadopsi para modernis Islam. Ujungnya adalah melemahkan Islam. Di barat, cara berpikir ‘materialisme’ itu sampai ‘menghilangkan Tuhan.’ Dalam dunia Islam, cara pandang itu ‘menghilangkan’ tasawuf.
Karena DIN Islam, sebagaimana Hadist Jibril yang mahsyur, meletakkan adanya tiga pilar. Iman-Islam-Ikhsan. Tiga pilar inilah yang kemudian runtuh selepas merebaknya cara berpikir ‘materialisme, dialektika, logika’ itu.
Praktek DIN Islam, secara sempurna dan paripurna dijalankan oleh tiga generasi awal. Hal itu digaransin Rasulullah Shallahuallaihiwassalam. Tiga generasi awal, itulah generasi terbaik dalam Islam. Itulah era keemasan Islam. Maka, bisa dikatakan bahwa era kejayaan Islam, bukanlah masa ketika dunia Islam mengadopsi sains, yang muncul dari geliat paham mu’tazilah. Inilah yang diagung-agungkan era modern, demi agar umat Islam seolah bisa ‘duduk satu meja’ dengan para kuffar.
Identifikasi era kejayaan Islam di era mu’tazilah itu, sekaligus pula menyebutkan bahwa tassawuf-lah yang dianggap biang kerok ‘kekalahan’ Islam dari barat era kini.
Nurcholis Madjid pernah mengatakan, dia mengutip Sutan Takdir Alisyahbana. “Dunia ini seperti pertarungan antara Imam Ghazali dan Ibnu Rusyd. Di timur, Imam Ghazali yang menang. Sementara di barat, Ibnu Rusyd yang menang.”
Doktrin inilah yang mengakibatkan umat kemudian ‘jengah’ pada sufisme. Karena dianggap sebagai ‘biang kerok’ kekalahan. Ujungnya, adopsi modernis barat menjadi pilihan. Hasilnya, tetap membawa umat pada kekalahan. Bahkan lebih parah. Cenderung dunia Islam, yang merujuk modernisme, menjadi kuli-kuli kuffar. Karena sejak dua abad belakangan, seiring tuduhan ‘kejumudan’ umat, maka pilihan menjadi modernis seolah menjadi jalan keluar menuju kemenangan. Ironisnya, hal itu tak pernah terjadi.
Kejumudan justru melanda kaun modernis Islam dan salafis-wahabbis. Mereka yang mengambil Islam dengan cara pandang materislisme. Hanya bersandar pada tekstualis verbalisme. Seolah, Islam dijalankan hanya berlandas pada aturan-aturan baku tertulis. Ini yang diterapkan di barat yang melahirkan positivisme. Hans Kelsen menyebutnya, hanya aturan tertulis yang layak dipatuhi. Tentu kaum modernis barat, lahir dari penolakan dogma Gereja Roma, yang sebelumnya mengungkung Eropa. Revolusi Perancis, 1789, babak awal paham sekulerisme, positivism hingga kapitalisme itu berlaku secara mengikat. Dan hanya satu paham saja yang dibolehkan hidup di barat.
Paham itulah yang merangsek negeri-negeri Muslim. Kala Napoleon menganeksasi Mesir, disitulah dimulai indoktrinasi paham sekulerisme ke dunia Islam. Selepas menguasai, Napoleon membawa serta 100 filosof berikut ahli sains, untuk menularkan ajarannya. Hasilnya kemunculan Jamaluddin Afghani, Muhammad Abduh hingga Rasyi Ridho. Inilah, yang menurut Shaykh Abdalqadir as sufi, ulama besar asal Skotlandia, melahirkan generasi awal modernis Islam di Mesir. Sementara di jazirah, kemunculan Muhammad bin Abdul Wahab, mengajarkan ajaran yang secara ekstrim memusuhi tasawuf. Tujuannya tak lain agar pihaknya memiliki alibi bisa memberontak dari Daulah Utsmaniyya, peradaban yang dibangun ahlu sufi. Utsmaniyya dituduh sebagai pelaku bid’ah, khurafat dan lainnya. Kaum kuffar, mendukung proyek itu. Hingga kawasan jazirah dan arabia, bisa lepas dari genggaman Utsmaniyya. Dan Zionisme Yahudi mendapatkan Jerusallem. Itu setelah melancarkan serangan pada sufi dan tasawufi. Proyek itu yang dijalankan Mustafa Kemal, dengan para modernis Islam di Turki. Ujungnya, Turki tak pernah duduk sejajar dengan bangsa Barat. Malah terus dicibir, bahkan pernah hendak dikeluarkan Dario zona negara Eropa, dalam sepakbola Piala Eropa. Karena Turki modern, sama sekali kehilangan marwah, walau telah menjadi sekuler.
Tapi serangan pada tasawuf, tak lantas berhenti. Para modernis dan salafis pun menganggap pengajaran ihsan sama sekali tak sesuai Sunnah –yang berdasar teks tertulis—karena sama sekali tak memiliki bukti tertulisnya. Tak ayal hal ini menjadikan senjata bagi modernis dan salafis untuk menyerang sufisme dan tasawwuf sebagai hal bid’ah, khurafat dan lainnya. Sementara cara pikir rasio, yang sejatinya khurafat, sama sekali diterima bulat-bulat. Penolakan pada sufi di samping karena hal itu, juga dipengaruhi faktor politik juga. Karena kaum sufi-lah yang berada di garis depan melakukan penolakan-penolakan atas upaya kaum modernis dan salafis ini dalam memperbaharui Islam dan mengutak atiknya hingga bisa menjadi sama persis dengan kuffar. Karena para sufi memilki tolok ukur Islam yang bersanad sampai Rasulullah Shalallahu ‘Alayhi Wasallam.
Tak heran tatkala modernis telah berhasil menguasai Mesir dan Turki, para sufi menjadi objek buruan, dikejar, bahkan dipidanakan dengan tuduhan syirik. Ini sama persis tatkala tentara revolusioner Perancis, pasca Revolusi, membantai dan menyerang kaum agamawan pengikut Gereja Katolik. Hal itu berlangsung pula dalam dunia Islam, oleh para modernis dan salafis. Mereka memburu para penentangnya, tapi bergandengan tangan dengan para kuffar, bankir dan sekutunya.
Tudingan bahwa tasawuf tidak diamalkan masa Shalafush Shalih, fitnah yang terus digulirkan. Karena dengan demikian membelokkan makna Shalafush Shalih itu sendiri.
Shalafush Shalih, dimulai kala Sayidinna Rasulullah Shallahuallaihiwassalam wafat. Periode Sahabat kemudian dimulai. Hingga berakhir masa wafatnya Sahabat terakhir, Abu Tufail Amir Bin Watsilah al Atsadi (102 H). Kemudian masuk periode Tabiin, hingga wafatnya Abu Tufail hingga Tabiin terakhir: Khalaf Bin Khulaifat (181 H). Sejak itu, maka memasuki fase Tabiut Tabiin, hingga wafatnya Sufyan Bin Uyainah 189 H). Inilah generasi Salafi. Tiga generasi awal Islam. Generasi emas dan terbaik.
Menariknya, bagaimana generasi Shalafush Shalih itu menjalankan DIN Islam? Karena sejak masa Sahabat hingga Tabiin, mereka sama sekali tak menuliskan kitab. Baru di generasi Tabiut Tabiin, kala Islam telah menyebar lebar, disitulah baru ada yang menuliskan kitab. Imam Malik, yang kali pertama menuliskan kitab Hadist, al Muwatta. Di wilayah aqidah, Imam Abu Hanifah menuliskan ‘al Fiqih al Akbar.’ Tapi Imam Abu Hanifah lebih dipercaya sebagai ahlu fiqih. Sementara kitab tasawuf kali pertama, dituliskan oleh Sayiddi Ali al Hujwiri di Lahor, Pakistan. Kitabnya ‘Kasyf al Mahjub’ ditulis dengan bahasa Persia, kisaran tahun 400 H. Tentu ini untuk merekam bagaimana amalan tasawuf yang dijalankan tiga generasi awal tadi.
Tapi, dari masa Sahabat hingga Tabiin, sama sekali tak ada kitab yang pernah ditulis. Maka praktek dan amalan DIN Islam, itulah menggunakan pola tradisi. Bukan jalan ‘modernis.’ Karena antitesa dari tradisi, itulah ‘modernis.’ Pola tradisi, pengajaran turun temurun, itulah yang jadi amalan utama Shalafush Shalih. Sahabat berguru pada Sayiddi Rasulullah Shallahuallaihiwassalam. Dan para Tabiin berguru pada Sahabat. Tabiut Tabiin, tentu berguru pada Tabiin. Begitulah DIN Islam dijalankan dan berjalan. Untuk tahu tentang ‘Sifat Shalat Nabi’, dijalankan dengan pengajaran turun temurun. Bukan melalaui kitab. Begitulah para Sahabat mengajarkan. Pengajaran turun temurun itu, tentu memerlukan sanad sahih. Itulah yang dijaga oleh ahlu sufi. Sanad.
Sementara dalam kitab Hadist pertama, Imam Malik, yang menghabiskan hidupnya di Madinah, menuliskan Al Muwatta, tak sepenuhnya bersandar pada ‘amalan Nabi.’ Sebagian ulama menghitungnya Muwatta berjumlah 600 hadist musnad, 222 hadis mursal, 613 hadis mauquf, 285 perkataan tabi’in, disamping itu ada 61 hadis tanpa penyandara, hanya dikatakan “telah sampai kepadaku” dan “dari orang kepercayaan.” Maknanya, Imam Malik sendiri tak memberikan rekaman utuh perihal amaliah Sahabat dan Tabiin. Tapi hanya berkaitan hal-hal yang dianggap penting untuk dituliskan. Karena dari Muwatta, Malik tak pernah menyetujui kitab itu dijadikan rujukan tunggal bagi Khalifah masa itu. Karena beliau tak ingin menjadikan kitabnya, untuk mempersempit praktek DIN Islam. Melainkan hanya sebagai rekaman bagaimana sebagian DIN Islam dijalankan.
Sementara ulama lain yang melahirkan kitab, muncul setelah generasi setelahnya. Imam Bukhari (wafat 256 H), Imam Muslim (261 H), Imam Asyari (324 H), Al Farabi (339 H), Ali al Hujwiri (400 H), Imam Ghazali (505 H), Shaykh Abdalqadir al Jilani (571 H), Ibnu Rusyd (610), Ibnu Arabi (640 H), Ibnu Taimiyyah (702 H). Mereka tentu bukan generasi Shalafush Shalih. Tapi rekaman bagaimana DIN Islam dijalankan, berusaha direkam sebisa mungkin dalam kitab-kitab para ulama.
Apalagi merujuk pada kritik amalan sufi yang dilakoni Ibnu Taimiyyah. Beliau bukan masuk Shalafush Shalih. Malah lebih tua Abu Ali al Hujwiri yang menuliskan kitab tassawuf pertama. Maka, tuduhan menentang tasawuf hanya berlandas pada Ibnu Taimiyyah, tentu tak masuk kategori Shalafush Shalih. Karena lebih sahih pengakuan Imam Ghazali, yang muncul dua abad sebelum Taimiyyah. Dia mengatakan, “Aku memasuki filsafat, aku bisa melewatinya. Aku memasuki ilmu kalam (mutakalimun), aku bisa melewatinya. Tapi begitu aku memasuki tasawuf, aku tercebur di dalamnya.” Ini membuktikan amalan Tasawuf merupakan ajaran turun temurun yang diwariskan sejak era Shalafush Shalih.
Sang Hujjatul Islam menggambarkan, dunia tassawuf adalah dimensi yang sangat luas sekali. Yang tentu sulit dikatakan secara nalar. Karena kedua ilmu, filsafat dan ahli kalam, berbasis pada rasionalitas, yang menurutnya hal itu bisa dikuasai. Tapi memasuki sufi, Imam Ghazali tercebur, tak mampu memberikan defenisi. Karena saking dalam dan luasnya.
Nah, disinilah letak kesalahan berpikir kaum modernis. Kala mencoba memberi defenisi dan teori perihal ‘tasawuf’, ‘sufi’ atau ‘tarekat.’ Karena metode pendefenisian, tentu merujuk pola Platonis dan Aristotelian, yang sejak modern state mencuat, menjadi parameter dalam dunia sekolah dan perguruan tinggi. Hingga banyak yang mencakapkan ‘sufi’ atau tasawuf atau tarekat, dimulai dari ‘penteorian’ yang cenderung keliru. Karena tasawuf, sebagaimana DIN Islam, sangat sulit di defenisikan. Karena pendefenisian, seperti kata Heidegger, adalah memberikan batasan pada ‘realitas.’ Realitas yang sejatinya telah ada, tapi dengan model materialime, kemudian coba di’teorikan’ mengikuti khalayan rasio manusia. ‘Itu hanya melahirkan kebenaran esensialis, bukan Kebenaran eksistensialis,” katanya. Kebenaran esensialis, katanya, bukanlah Kebenaran sama sekali.
Maka disitulah letak kesalahan berpikir kaum modernis yang mencari ‘defenisi’ dan bukti verbalisme tasawuf. Karena realitasnya, amalan itu sudah dilakukan sejak Nabiyunna Shallahuallaihiwassalam, diteruskan Sahabat, Tabiin hingga Tabiut Tabiin, dan diajarkan kepada umat Islam, hingga saat ini. Disitulah realias DIN Islam terjaga. Karena amalan-amalan tasawuf, tentu merujuk apa yang diajarkan Nabi Shallalahuallaiwassalam.
Karena kegagalan dalam mencari ‘bukti verbalisme’ sebagaimana ajaran Cartesius dan Kantian itu, maka kaum modernis Islam dan salafis, cenderung memberikan kisah-kisah palsu demi mendiskreditkan tasawuf. Ketika bukti empiris muncul, maka sedemikian tetap ditolak, dengan tanpa dalil sama sekali. Misal, kehadiran Wali Songo di tanah Jawa, yang membawa Islam dan mengamalkan DIN Islam. Para modernis Islam dan salafis, hanya berujar: “Itu hanya mitos.” Suatu yang tak berdalil. Karena justru Wali Songo, itulah bukti nyata amalan Islam membawa serta tasawuf. Makna ‘Aulia’ itu hanya ada dalam dunia sufi. Yang sejak dulu meyakini tentang adanya Wali Abdal, sebagaimana Hadist Shallahuallaihiwassalam. Modernis dan salafis tentu tak meyakini adanya manusia berderajat ‘wali.’ Karena termakan doktrin humanisme, bahwa manusia semuanya sama. Ini doktrin yang dihembuskan Voltaire, Bodin hingga Rosseau, untuk melepaskan mereka dari dogma. Doktrin itu yang diadopsi untuk menyerang Daulah Utsmaiyyah.
Shaykh Abdalqadir al Jailani, menjabarkan dalam kitabnya ‘Al Gunyah’ perihal bagaimana kedudukan Sahabat. Jumlah seluruh sahabat, tulisnya, sekitar 114.000 orang. Yang terbaik adalah 1.400 orang, yang mengikuti Baiat Ridwan, sebelum Perjanjian Hudaibiyah. Dari 1400 orang, yang terbaik adalah 313 orang, pasukan Badar. Dari 313 orang, yang terbaik adalah 40 orang, peserta Majelis Darul al Arqam. Dari 40 orang, yang terbaik adalah 10 orang, Sahabat yang dijamin Surga. Dari 10 orang, yang terbaik adalah 4 orang, Khulafaur Rasyidin. Maka, inilah pertanda manusia dibedakan berlandas mahqom-nya. Dan ini terjaga dalam kosakata tasawuf. Yang kemudian memunculkan bagaimana Mursyid dan murid. Sebagaimana para Tabiun ber-Mursyid pada Sahabat.
Yang jelas, kegagalan ‘cara berpikir’ itulah yang membuat kegagalan dalam memahami DIN Islam secara utuh. Karena realitas Islam, yang dijalankan Shalafush Shalih, itu berlandaskan pada ajaran turun temurun, yang diistilahkan dengan tradisionalis. Kegagalan cara pandang, itu juga yang menyebabkan celakanya Abu Lahab. Sebagaimana Maulana Jalaludin Rumi berkata, “Apa perbedaan Abu Bakar dan Abu Lahab? Abu Bakar melihat Muhammad adalah sebagai Rasul Allah. Abu Lahab melihat Muhammad hanya sebatas keponakannya.”
Tentu, Abu Bakar mengenakan pandangan basyirah. Unsur qalbu menjadi panutan dalam cara berpikirnya. Sementara Abu Lahab, hanya sebatas mengenakan inderawi semata. Dan itu yang membuatnya celaka. Basyirah yang didapat Sayidina Abu Bakar as Shiddiq itulah yang terus diajarkan dalam tasawuf.
Artikel ini ditulis oleh:
Rizky Zulkarnain