Tangkapan layar - Presiden Jokowi memberikan sambutan dalam Kompas100 CEO Forum di Istana Negara, Jakarta, Jumat (2/12)

Jakarta, Aktual.com – Beberapa kebijakan Pemerintah di tahun 2022 kemarin berhasil membuat gerah negara-negara Eropa. Beberapa kebijakan yang dilakukan Presiden Joko Widodo alias Jokowi yang mengguncang negara-negara Uni Eropa dan Asia adalah menghentikan ekspor beberapa komoditas andalan Indonesia mulai dari batu bara, Crude Palm Oil (CPO), hingga bijih bauksit.

Negara Uni Eropa dan Asia gerah karena komoditas yang dilarang ekspor itu sudah menjadi ketergantungan negara-negara lain. Pakar Kebijakan Publik dari Universitas Indinesia (UI) Lisman Manurung menyoroti perjuangan Presiden Jokowi dalam kebijakannya lakukan hilirisasi demi menjaga kedaulatan energi Indonesia.

Menurutnya, pembatasan atau embargo yang dilakukan oleh pemerintah terhadap beberapa komoditas tambang sangat tepat, agar Indonesia bisa melakukan hilirisasi industri dan menjadi catatan emas bagi generasi Indonesia ke depan, bahwa Indonesia bisa mandiri mengelola Sumber Daya Alam-nya sendiri.

“Pembatasan atau embargo ini adalah dalam rangka hilirisasi industri kita, agar ekspor SDA kita dalam bentuk mentah, tidak membuat generasi mendatang mengutuk kita karena malas bekerja. agar ada komponen keringat kita pada ekspor berbahan nikel,” kata Lisman Manurung saat dihubungi, Senin (2/1).

Menurut Lisman, sangat wajar bila pemerintah ingin melakukan hilirisasi industri dalam negeri untuk kepentingan masyarakatnya, salah satunya adalah membuka lapangan kerja baru.

“Kita mau melakukan hilirisasi industri dalam negeri terkait bahan nikel agar ada banyak pekerjaan di sini. Apakah adil mereka 3% pengangguran, sementara RI masih didera penduduk miskin 9%. Sah-sah saja proses para pihak berusaha untuk mencari keadilan,” ucapnya.

Gugatan Uni Eropa ke WTO atas kebijakan Pemerintah Indonesia patut dilawan untuk menegaskan keadilan bagi Indonesia. Selama ini, Uni Eropa sudah menikmati kekayaan alam Indonesia, dan disaat Indonesia ingin mandiri mengelola kekayaannya sendiri digugat oleh mereka. Untuk itu, Indonesia harus menuntut keadilan juga dalam memperoleh manfaat atas kekayaannya sendiri.

“Saatnya kita menuntut keadilan juga dalam memperoleh manfaat atas rendahnya manfaat yang diperoleh RI atas SDA langka itu. Mau mereka dipuji-puji oleh generasi mendatang mereka, bisa menekuk negara berkembang, hanya karena ada potensi yang tidak biasa dalam berbisnis, yakni Uni E vs Just Indonesia only,” paparnya.

Dikatakan Lisman, salah satu keuntungan Indonesia saat ini adalah keuntungan yang didapatkan dari kebijakan larangan ekspor nikel, yakni melambungnya harga nikel di pasar dunia, dan gugatan Uni Eropa itu harus pertanyakan, apakah mewakili Eropa secara keseluruhan atau hanya negara-negara tertentu saja.

“UE menggugat embargo ekspor nikel kita. Tindakan ini membuat harga nikel melambung, tetapi negara lain terima saja, dan hanya sebagian yang menggugat dalam hal ini Uni Eropah. WTO ini organisasi biasa dan apakah anggotanya kan negara-negara secara individu dan ini unik,” ujarnya.

“Dalam bisnis itu tidak seimbang. Dia enak membuat masyarakatnya menikmati hasil dari kita, dengan memaksa mengambil bauksit dari kita dan membawa ke negara mereka untuk diolah menjadi industri dan menghasilkan yang banyak. Saya tidak tahu apakah penggugat adalah UE, dan apakah case-nya UE vs Indonesia. Menurut hemat saya, protokol proses terjadinya dispute ini perlu didalami oleh para pakar terkait. Sengketa bisa terjadi antara 2 pihak yang tidak setara,” sambungnya.

Lisman yakin betul dengan potensi Indonesia yang bisa mengelola kekayaan alam-nya sendiri tanpa harus menjual bahan mentah secara langsung. Oleh sebab itu, Lisman meminta pemerintah tidak perlu takut dengan gugatan Uni Eropa atas kebijakan hilirisasi dan melarang ekspor bahan mentah.

“Kita sendiri bisa loh mengolahnya menjadi lempengan apa gitu. Mestinya harus ada negosiasi bukan malah membawah ke pengadilan. Masa ditakut-takutin asing langsung gak berani hilirisasi,” ungkapnya.

Pemerintah, lanjut Lisman harus melakukan hilirisasi dan tetap membuka peluang bisnis dengan negara-negara luar, baik itu Eropa maupun dataran Asia asalkan sebagian tenaga kerja harus dari Indonesia, bukan di bawa dari negara asal mereka.

“Hilirisasi kan membawa manfaat, artinya ketika nikel itu bisa kita olah dengan kerja sama mereka, ya gak apa-apa tapi tenaga kerja harus dari kita, kan ada manfaatnya dong, Kan ada pembagian uang, pembagian keahlian, kemajuan dan lain-lain,” jelasnya.

Diketahui, dalam rentang tahun 2022, banyak sekali kebijakan pemerintah yang membuat dunia geger. Hal ini terkait dengan beberapa langkah yang diambil oleh Presiden Jokowi terkait pelarangan ekspor bahan mentah SDA.

Kebijakan-kebijakan itu sejatinya diambil demi kepentingan nasional. Namun, akibat banyak negara-negara luar yang bergantung pada ekspor komoditas SDA itu selama ini, maka keputusan pelarangan itu pun menimbulkan reaksi dari negara-negara luar.

Pertama, pelarangan ekspor batu bara di awal-awal tahun 2022. Keputusan itu tertuang dalam surat Menteri ESDM Nomor B-1605/MB.05/DJB.B/2021 (31 Desember 2021). Pelarangan itu dilakukan untuk pemenuhan kebutuhan batu bara untuk kelistrikan umum.

Jokowi sudah membuat mekanisme yang tegas berupa domestic market obligation (DMO) yang mewajibkan seluruh perusahaan tambang memenuhi kebutuhan pembangkit energi milik PLN. Namun, DMO tidak terpenuhi, larangan ekspor pun dilakukan. Larangan ini mendapatkan reaksi dari pihak Jepang.

Kedua, pelarangan ekspor bahan baku minyak goreng berupa minyak kelapa sawit mentah atau Crude Palm Oil (CPO) dan seluruh produk turunannya (28 April 2022). Tertuang dalam Permendag Nomor 22 Tahun 2022.

Pelarangan tersebut bertujuan untuk mengoptimalkan ketersediaan minyak goreng sebagai salah satu kebutuhan pokok seluruh masyarakat Indonesia. Lebih tepatnya, kebijakan itu demi menambah pasokan dalam negeri dan mengendalikan harga minyak goreng Rp 14 ribu per liter.

Kebijakan pelarangan itu pun berdampak positif. Sebagai perbandingan: sebelum pelarangan ekspor, pasokan minyak goreng di dalam negeri hanya mencapai 64.626,52 ton (alias 33,2 persen) dari total kebutuhan sebesar 194.634 ton.

Sebaliknya, pasca pelarangan ekspor, pasokan minyak goreng curah pada April meningkat menjadi 211.638,65 ton per bulan atau 108,74 persen dari kebutuhan. Alias melebihi kebutuhan nasional.

Ketiga, kebijakan hilirisasi nikel dan pelarangan ekspor bahan mentah bijih nikel. Keputusan Jokowi ini membuat Uni Eropa meradang dan menggugat Indonesia. Namun, Jokowi tidak gentar. Saat Indonesia kalah sidang WTO, Jokowi memerintahkan banding.

Jokowi memiliki alasan kuat. Selama ini ekspor bahan mentah nikel tidak memberikan manfaat bagi Indonesia. Sebaliknya, dengan hilirisasi dan ekspor jadi atau setengah jadi, Indonesia bisa meraih cuan lebih besar komoditas nikel.

Selain itu, Jokowi punya landasan hukum dan moral yang kuat untuk kebijakan hilirisasi SDA. Amanah UUD 1945 dengan jelas menegaskan agar seluruh kekayaan nasional, SDA kita, harus dikelola seoptimal mungkin untuk kepentingan kesejahteraan rakyat Indonesia.

Terbukti, ketika pemerintah melarang bijih nikel, nilai ekspor tumbuh signifikan: semula Rp17 triliun atau 1,1 miliar dolar AS di akhir 2014, meningkat menjadi Rp326 triliun atau 20,9 miliar dolar AS pada 2021.

Keempat, pelarangan ekspor bauksit (Desember 2022) yang akan berlaku pada Juni 2023. Seperti nikel, pelarangan ekspor bijih untuk meningkatkan industri pengolahan SDA di dalam negeri. Dengan adanya optimalisasi industriliasi bauksit, diperkirakan pendapatan negara naik signifikan.

Dalam kalkulasi pemerintah, dari semula Rp 21 triliun (saat ekspor bauksit dalam bahan mentah), bisa naik menjadi sekitar Rp 62 triliun (saat diekspor dalam bahan jadi atau setengah jadi). Nilai tambah ini yang menjadi alasan kuat dari kebijakan Jokowi.

Sederet kebijakan di atas menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara dengan SDA berlimpah di mana banyak negara lain bergantung. Kepemimpinan Jokowi yang tegas dan berani seperti ditunjukkan lewat beberapa kebijakan berani di atas, patut kita dukung.

Dengan ketegasan kepemimpinan seperti itulah, Indonesia bisa memaksimalkan potensi kekayaannya untuk kepentingan nasional. Kita berharap konsistensi kebijakan pengelolaan SDA untuk kepentingan nasional seperti di atas terus dilanjutkan.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Tino Oktaviano