Ketua Komisi Percepatan Reformasi Polri Jimly Asshiddiqie (tengah) bersama para anggota komisi; Penasihat Khusus Presiden Bidang Keamanan dan Ketertiban Masyarakat dan Reformasi Kepolisian Ahmad Dofiri (kiri); Wakil Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Otto Hasibuan (kedua kiri); Kapolri periode 2019–2021 Jenderal Pol. (Purn.) Idham Aziz (kedua kanan); dan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan periode 2019–2024 sekaligus Ketua Mahkamah Konstitusi periode 2008–2013 Mahfud MD (kanan) memberikan keterangan pers di Gedung Mabes Polri, Jakarta, Senin (10/11/2025). ANTARA/Nadia Putri Rahmani.
etua Komisi Percepatan Reformasi Polri Jimly Asshiddiqie (tengah) bersama para anggota komisi; Penasihat Khusus Presiden Bidang Keamanan dan Ketertiban Masyarakat dan Reformasi Kepolisian Ahmad Dofiri (kiri); Wakil Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Otto Hasibuan (kedua kiri); Kapolri periode 2019–2021 Jenderal Pol. (Purn.) Idham Aziz (kedua kanan); dan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan periode 2019–2024 sekaligus Ketua Mahkamah Konstitusi periode 2008–2013 Mahfud MD (kanan) memberikan keterangan pers di Gedung Mabes Polri, Jakarta, Senin (10/11/2025). ANTARA/Nadia Putri Rahmani.

Jakarta, aktual.com – Peneliti Pusat Kajian Kebijakan Publik dan Hukum (Puskapkum) sekaligus pengajar di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta, Ferdian Andi, menilai pembentukan Komisi Percepatan Reformasi Polri masih perlu waktu untuk dinilai efektivitasnya. Ia menyebut, saat ini terlalu dini untuk menilai apakah komisi tersebut hanya sebatas simbol politik atau benar-benar menjadi langkah nyata dalam memperbaiki institusi kepolisian.

Menurut Ferdian, penilaian yang objektif baru dapat diberikan setelah melihat hasil kerja dan rekomendasi yang dikeluarkan oleh komisi tersebut, serta sejauh mana rekomendasi itu direalisasikan oleh pihak terkait. “Dari situ kita dapat memberikan penilaian mengenai output dari Komisi ini. Jadi, terlalu pagi kalau saat ini memberi penilaian terhadap kerja Komisi Percepatan Reformasi Polri,” ujarnya.

Ia menambahkan, secara kewenangan komisi ini memiliki ruang gerak yang jelas. Hasil kerja komisi nantinya berupa rekomendasi kepada Presiden terkait arah dan strategi reformasi Polri.

Menurutnya, target dan kewenangan yang dimiliki sudah cukup untuk mendorong perubahan asalkan diikuti dengan komitmen politik dan implementasi nyata. Terlebih, pengguna akhir dari hasil kerja Komisi ini adalah Presiden berupa rekomendasi mengenai reformasi Polri.

“Jadi, dari sisi kewenangan dan target komisi ini jelas. Dengan kewenangan yang dimiliki Komisi ini kita harapkan terdapat hasil berupa peta jalan reformasi Polri yang dihasilkan oleh Komisi ini,” kata Ferdian.

Ia menilai banyak kajian akademik yang dapat menjadi rujukan untuk menyusun peta jalan reformasi tersebut, mulai dari aspek kelembagaan, budaya organisasi, hingga pembenahan sumber daya manusia. Namun, menurut Ferdian, reformasi Polri seharusnya dimulai dari pembenahan pada sistem hukumnya terlebih dahulu.

“Harus dimulai dari perbaikan sistem hukum Polri yang berupa substansi atau norma hukum yang mengatur tentang Polri. Revisi UU Polri menjadi langkah utama untuk menjadi landasan reformasi Polri,” jelasnya.

Ferdian juga menyoroti bahwa revisi Undang-Undang Polri telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas Tahun 2025. Hal ini, katanya, menjadi momentum penting untuk memperkuat dasar hukum reformasi di tubuh kepolisian.

Di samping itu, mekanisme rekrutmen anggota Polri juga perlu menjadi perhatian serius. “Perbaikan mekanisme rekrutmen Polri dapat menjadi hulu perbaikan SDM Polri. Pelbagai pandangan dari publik dalam perbaikan rekrutmen menjadi masukan penting dalam mereformasi Polri,” tuturnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain