Petugas mengumpulkan sampah dari berbagai daerah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Randukuning Kabupaten Batang, Jawa Tengah Jumat (22/10/21). . ANTARA FOTO/Harviyan Perdana Putr (ANTARA FOTO/Harviyan Perdana Putra)

Jakarta, Aktual.com – Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta mencatat, gunungan sampah di Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang, Bekasi, Jawa  Barat pernah mencapai ketinggian 59 meter, atau setara ketinggian gedung 15 lantai di Jakarta.

Ketinggian tersebut mengacu pada data yang ada, dimana volume limbah yang masuk sekitar 7.000–7.500 ton per hari ke kawasan Bantargebang. Dengan jumlah tersebut tumpukannya rata-rata mencapai ketinggian 40-50 meter dilima zona landfiil (pembuangan akhir). Dan akhirnya mendapt perhatian langsung Presiden Prabowo untuk projek Waste to Energy.

“Kalau tidak salah di Bantar Gebang itu saya dapat Laporan sudah mencapai puluhan juta ton, 55 juta ton sudah menggunung. Kalau terjadi hujan deras dia bisa bisa membahayakan banyak kampung di sekitar situ,” kata Prabowo, dalam Sidang Kabinet Paripurna di Istana Negara, Jakarta, Senin (20/10/2025).

Presiden pun mengungkapkan masalah sampah telah menjadi masalah nasional, dan terjadi dibanyak wilayah di Indonesia. Gunungan sampah pun tidak hanya tampak di Bantargebang, namun hampir di seluruh wilayah lain, terutama kota kota besar di Indonesia.

“Ada tempat-tempat sampah yang sampahnya sudah menggunung terutama untuk DKI, Bantar Gebang, untuk Bandung, untuk Surabaya, dan untuk Bali,” ujar Presiden.

Baca juga:

Menunggu Bukti Istana, Sulap Sampah Jadi Listrik

Di Bandung, misalnya. Gunungan sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sarimukti, Cipatat, rata-rata mencapai 20-50 meter. Gunungan sampah dengan volume1.400-1.600 ton per datang setiap hari dari empat wilayah se-Bandung Raya.

Dalam catatan Pemerintah, timbunan sampah secara nasional mencapai 56,63 juta ton tiap tahunnya. Dari jumlah tersebut, pengelolaan sampah baru 39,01 persen. Sisanya, 60,99 persen adalah sampah yang belum tertangani. Pengelolaannya pun masih menggunakan sistem pembuangan terbuka (open dumping).

Perkara sampah yang menggunung di kota-kota besar ini bila terus tidak tertangani, bisa membawa dampak buruk, baik dari segi lingkungan, kesehatan, sosial, maupun ekonomi.

Dari segi lingkungan, timbunan sampah mengakibatkan pencemaran tanah, air, udara, gangguan ekosistem, dan perubahan iklim.  Sedangkan dari sisi kesehatan, sampah menggunung yang tidak terolah dengan baik bisa mengakibatkan penyakit menular, gangguan pernapasan, hingga keracunan logam berat (mercury).

Adapun dari sisi ekonomi, sampah yang tak terurus tentunya bisa menghambat sektor pariwisata. Anggaran negara yang tersedot untuk merehabilitasi lingkungan pun pasti tidak sedikit. Potensi ekonomi dari daur ulang sampah, seperti menjadi sumber energi, dan bahan pupuk, juga akan hilang.

Waste to Energy Solusi Tuntaskan Gunung Sampah

Gunungan sampah di berbagai wilayah membuat Presiden Prabowo gerah, Demi mengatasinya, ia pun membuat program Pengolahan Sampah menjadi Energi (PSE), atau waste to energy (WtE), dengan rencana membangun 34 pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa) di 33 kota. Dimana tiap satu PLTSa memiliki daya kapasitas yang mampu mengolah sebanyak 1.000 ton limbah per hari menjadi listrik 12-20 Mega Watt (MW) per hari.

Presiden menargetkan pembangunan PLTSa selesai dalam waktu 2 tahun. Dan 34 PLTSa ditargetkan mampu mengolah 34.000 ton sampah per hari menjadi listrik, untuk dijual ke PLN dengan harga kisaran 20 sen USD per kWh.

Waste to energy (WtE) sendiri mengacu pada teknologi pengolahan sampah yang mengubah limbah menjadi energi dengan menggunakan panas, yang paling umum adalah insinerasi. Sederhananya, limbah perkotaan seperti sisa makanan, kemasan produk, pakaian, perabot, dan potongan rumput dari perumahan, properti komersial, dan institusi, dibakar untuk menghasilkan listrik.

“Ini sangat strategis karena ini menyangkut kebersihan, kesehatan, ya. Bagaimana kita berharap, paling tidak bisa membersihkan sampahnya. Bisa kita bayangkan, mau enggak turis datang ke tempat yang kotor yang jorok? Jadi ini strategis,” kata Prabowo.

Baca juga:

Proyek Sampah Jadi Listrik dan Bayang Bayang Korupsi Serta Racun Baru

Untuk itu, Prabowo menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2025 tentang Penanganan Sampah Perkotaan melalui Pengolahan Sampah menjadi Energi Terbarukan, sebagai dasar hukum pelaksanaan PSE.

Perpres yang ditandatangani pada 10 Oktober 2025 ini menyebutkan PSE adalah sistem pengolahan sampah dengan mesin dan/atau peralatan yang mampu mengolah limbah menjadi listrik, bioenergi, bahan bakar minyak terbarukan, dan produk ikutan lainnya, serta mengurangi volume sampah.

Perpres ini menugaskan Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara untuk menyelesaikan semua proyek PLTSa dengan menggandeng investor, atau korporasi. Danantara akan menunjuk sejumlah investor/korporasi menjadi Badan Usaha Pengembang dan Pengelola (BUPP) Pengolahan Sampah menjadi Energi Listrik (PSEL).

BUPP PSEL inilah nantinya yang merencanakan, membangun, dan mengoperasikan PLTSa di 33 kota. Sekaligus, menjual listrik ke PT PLN seharga 20 sen dolar AS per kilowatt per jam (kwh). PLN wajib membelinya. Hasil penjualan listrik menjadi hak BUPP PSEL.

Menggejar Perintah Presiden

Chief Executive Officer (CEO) BPI Danantara Indonesia Rosan Roeslani bergerak cepat menyikapi Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2025 tentang Penanganan Sampah Perkotaan melalui Pengolahan Sampah menjadi Energi Terbarukan, yang ditandatangani pada 10 Oktober 2025 oleh Presiden Prabowo.

Rosan menyatakan, proyek ini akan di launching pada November 2025. Dengan 7-10 kota akan menjadi proyek awal WtE. Kota tersebut diantaranya Jakarta, Tangerang, Bekasi, Bandung, Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Medan, Bali, hingga Makassar.

“Tetapi memang yang utama yang ingin kita lakukan pertama adalah di Jakarta. Di Jakarta sendiri akan ada 4-5 lokasi,” ungkapnya.

Baca juga:

Walhi Sebut Perpres 109 2025 “Jurus Mabuk” Pemerintah Atasi Darurat Sampah

Rosan menjelaskan, proyek ini merupakan hasil kolaborasi antara pemerintah daerah (Pemda), Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), PLN, hingga perusahaan swasta. Dengan kebutuhan anggaran proyek mencapai sekitar Rp91 triliun. Adapun pendanaannya berasal dari penjualan surat utang atau obligasi Patriot Bonds yang dibeli para konglomerat dengan senilai Rp50 triliun.

Rosan menyebutkan, setiap fasilitas pengolahan sampah yang berkapasitas 1.000 ton per hari mampu menghasilkan 15 megawatt listrik. Daya tersebut cukup untuk memasok 20 ribu rumah tangga. Selain itu menurutnyabpembangkit listrik tenaga sampah ini sejalan dengan program energi baru terbarukan yang tengah digalakkan pemerintah. Proyek ini pun akan membawa kabar baik bagi Pemda, karena tidak ada lagi kewajiban tipping fee untuk pengelolaan sampah.

“Karena mekanisme ini sepenuhnya ditanggung oleh Perusahaan Listrik Negara dengan subsidi dari pemerintah pusat. Ini meringankan anggaran daerah sekaligus memperkuat keberlanjutan proyek,” ujarnya.

Orang nomor satu di Danatara ini pun menegaskan, pelaksanaan program tersebut akan dilakukan secara transparan, dengan proses tender yang terbuka. Ia membuka pintu bagi pihak swasta yang berminat untuk bergabung dalam proyek WtE.

.Cari Solusi Dengan Berkaca Pada Negara lain

Disis lain, Managing Director Investment Danantara Stefanus Ade Hadiwidjaja menyampaikan tujuan utama dari PSE bukan sekadar menghasilkan energi. Tujuan utamanya adalah membersihkan lingkungan, karena persoalan sampah di Indonesia sudah tahap darurat.

“TPA Bantar Gebang luasnya lebih dari 100 hektare (ha). Tinggi tumpukan sampahnya setara 10–15 lantai gedung. Total sampah yang menumpuk di Bantar Gebang sudah 55 juta ton. Kalau 55 juta ton sampah itu dikembalikan ke Jakarta, hampir seluruh kota bisa tertutup,” paparnya.

Masalah ini, katanya, bukan hanya terjadi di Indonesia. Negara lain pernah mengalami hal serupa. Jepang, Eropa, dan China pernah berada dalam kondisi sama. Tapi mereka, sebutnya, berhasil keluar dari krisis itu. Ia mencontohkan keberhasilan China mengatasi maslah sampah, 20 tahun tahun lalu, mereka menghasilkan 1 kilogram sampah per orang per hari. Dengan populasi 1,5 miliar orang, berarti 1,5 miliar kilogram sampah per hari.

“Mereka sadar bahwa ini darurat, lalu mulai membangun sistem waste to energy. Sekarang, setelah 20 tahun, di China sudah ada lebih dari 1.100 fasilitas incinerator, masing-masing membakar lebih dari 1.000 ton sampah per hari,” ucapnya.

Baca juga:

PLN EPI Pamerkan Keunggulan Hidrogen di Ajang GHES

Bahkan, katanya, sekarang terjadi fenomena rebutan sampah, karena sampahnya sudah habis terbakar. Saking kekurangan sampah, TPA lama bahkan dibersihkan kembali. Teknologinya cukup sederhana. Sampah diambil, dimasukkan ke incinerator, lalu dibakar menjadi energi.

“Sebanyak 90% sampah berubah menjadi bottom ash. Asap yang keluar sangat minim karena sudah melalui filter flying ash. Bahkan bottom ash bisa diolah lagi menjadi bahan bangunan seperti bata,” paparnya.

Adapun limbah cairnya, di negara seperti Jepang, Eropa, dan China, bisa diolah hingga menjadi air jernih yang bahkan bisa diminum.

Hadiah dari Pusat Untuk Daerah

Kedaruratan sampah sudah menjadi ancaman semua Pemerintah Daeah (Pemda), atas dasar itu Stefanus menegaskan setiap Pemda harus terlibat dalam proyel PLTSa, dimana pemerintah pusat telah membeikan kemudahan. Kemudahn tersebut diantaranya Pemda tidak perlu membayar Total Down Payment (TDP). Pemda hanya wajib menyediakan lahan minimal 5 ha, dan men-supply sampah ke PLTSa.

“Pemda bisa mengajukan ke KLH untuk direview. Hasilnya, akan diserahkan KLH ke Danantara untuk dieksekusi. Tapi mereka harus siap dari sisi logistik juga, seperti pengantaran sampah, pengumpulan. Lalu, ada juga retribusi dari masyarakat untuk budget infrastruktur itu,” ungkapnya.

Baca juga:

Indonesia dan Jepang: Jejak Berbeda dalam Transisi Energi Terbarukan

Untuk itu ia mengungkapkan, Danantara sedang mengecek kesiapan teknis dari masing-masing kota. Danantara, juga sudah menyiapkan Daftar Penyedia Teknologi (DPT) untuk teknologi incinerator dari berbagai negara.

“Di Batch pertama ini, ada 24 perusahan yang sudah terverifikasi memiliki pengalaman internasional dalam waste to energy. Mereka lolos tahap seleksi dari 200 peminat,” paparnya.

Mereka yang terverifikasi akan terlibat dalam pembangunan proyek PSEL tahap pertama di tujuh wilayah aglomerasi. Perusahaan itu mayoritas berasal Cina. Namun, ada juga dari Jepang, dan Eropa.

Selanjutnya, kata Stefanus, perusahaan yang lolos bisa melibatkan perusahaan lokal dari badan usaha milik negara (BUMN), badan usaha milik daerah (BUMD), dan swasta. Kemudian, perusahaan-perusahaan ini bisa mengikuti tender untuk seluruh proyek di tujuh wilayah aglomerasi atau fokus pada satu wilayah saja.

Laporan: Nur Aida Nasution

Artikel ini ditulis oleh:

Erobi Jawi Fahmi
Eka Permadhi