Jakarta, Aktual.com – Selama lebih dari satu dekade terakhir, minyak sawit telah menjadi komoditas nabati utama di dunia, melampaui minyak nabati lainnya. Indonesia, bersama Malaysia dan Thailand, menyumbang lebih dari 80% produksi minyak sawit global, yang mencakup hampir sepertiga dari total produksi minyak nabati dunia (OECD/FAO, 2024).
Organisasi FAO dan OECD memproyeksikan produksi minyak sawit global akan tumbuh sebesar 0,7% per tahun hingga 2033. Pertumbuhan ini tidak terlepas dari efisiensi biaya dan fleksibilitas penggunaan minyak sawit dibandingkan minyak nabati lain. Selain untuk konsumsi langsung, minyak sawit menjadi bahan dasar bagi berbagai industri, mulai dari makanan hingga energi terbarukan.
Menurut Prima Gandhi, Ketua Umum Persatuan Pelajar Indonesia Jepang, minyak sawit memiliki peran penting dalam sektor industri.
“Minyak sawit dimanfaatkan untuk berbagai produk, seperti minyak goreng, margarin, selai, kosmetik, hingga biodiesel. Bahkan, limbahnya, seperti cangkang sawit, dapat diolah menjadi biomassa sebagai sumber energi terbarukan yang ramah lingkungan,” ujarnya pada Jumat (17/1).
Dalam konteks transisi energi, minyak sawit memainkan peran vital dalam mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil. Prima Gandhi menegaskan, pemanfaatan minyak sawit sejalan dengan upaya Pemerintah Indonesia untuk menekan emisi gas rumah kaca (GRK) melalui penggunaan energi terbarukan (EBT). Kebijakan ini, lanjutnya, tertuang dalam Peraturan Pemerintah No. 79 Tahun 2014, yang menargetkan EBT mencapai 23% pada 2025 dan 31% pada 2050.
Namun, realisasi target tersebut menghadapi hambatan signifikan. Pemerintah masih mengandalkan batu bara sebagai sumber utama energi primer.
“Rencana Kerja dan Anggaran Belanja (RKAB) yang disetujui Kementerian ESDM memproyeksikan produksi batu bara hingga lebih dari 900 juta ton per tahun hingga 2026. Akibatnya, target EBT diturunkan dari 23% menjadi 17% pada 2025,” jelasnya.
Jepang: Percontohan dalam Konsistensi Kebijakan
Berbeda dengan Indonesia, Jepang telah menunjukkan langkah konsisten dalam transisi energi. Sejak 2014, Jepang aktif mengimpor biomassa, termasuk cangkang dan batang kelapa sawit, dari negara-negara ASEAN untuk memenuhi kebutuhan pembangkit listrik tenaga biomassa. Upaya ini sejalan dengan Rencana Energi Strategis (RES) Jepang, yang bertujuan mencapai 36-38% bauran energi dari sumber terbarukan pada 2030.
Dalam dokumen RES, biomassa menempati posisi strategis dengan target kontribusi sebesar 5% dari total energi terbarukan. Kebijakan ini didukung oleh skema Feed-in Tariff (FIT) yang diperkenalkan pada 2012. FIT memberikan insentif finansial dan fiskal untuk mendorong investasi dalam proyek energi terbarukan, termasuk pembangkit listrik biomassa.
“Dengan skema FIT, pemerintah Jepang menawarkan subsidi untuk infrastruktur biomassa, kepastian pasar melalui perjanjian pembelian listrik, serta pengurangan tarif impor bahan baku,” ungkap Prima Gandhi. Menurut data ERIA, kapasitas pembangkit listrik biomassa Jepang telah melampaui target 2030, dengan investasi yang disetujui mencapai 10.830 MW pada 2021.
Konsekuensi Global dan Neo-Kolonialisme Energi
Meski terlihat progresif, hubungan perdagangan biomassa antara Jepang dan Indonesia tidak luput dari kritik. Prima Gandhi menyebut tren ini sebagai bentuk neo-kolonialisme energi.
“Jepang menikmati pasokan biomassa murah untuk memenuhi kebutuhan domestiknya, sementara Indonesia harus menanggung dampak lingkungan, seperti deforestasi dan degradasi tanah,” tegasnya.
Data menunjukkan lonjakan signifikan ekspor biomassa dari Indonesia ke Jepang. Antara 2014 dan 2024, ekspor wood pellets meningkat hingga 17.578%. Jepang juga menjadi pasar utama cangkang sawit Indonesia, dengan pangsa pasar sebesar 84,5% pada 2023.
“Sejarah seolah berulang,” ujar Prima Gandhi. “Delapan puluh tahun lalu, Jepang menjajah Indonesia untuk mengamankan minyak bumi. Kini, Jepang bergantung pada biomassa Indonesia sebagai pengganti sumber energi fosil. Perbedaannya, strategi modern ini tidak lagi menggunakan kekuatan militer, melainkan melalui hubungan perdagangan.”
Prima Gandhi berharap, pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo mampu melihat implikasi ini secara menyeluruh.
“Sudah saatnya kita memperkuat kebijakan domestik yang mendukung keberlanjutan lingkungan dan kemandirian energi. Jangan sampai kita terus berada dalam pusaran eksploitasi sumber daya tanpa mempertimbangkan dampaknya pada masa depan bangsa,” pungkasnya.
Artikel ini ditulis oleh:
Arbie Marwan