Jakarta, Aktual.com — Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI) Topo Santoso, menilai kesiapan negara dalam menerapkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) baru masih menyisakan banyak persoalan mendasar. Menurutnya, kelengkapan regulasi turunan serta kesiapan aparat penegak hukum (APH) menjadi tantangan serius.
Topo mempertanyakan apakah negara benar-benar siap menjalankan kedua regulasi tersebut secara efektif. Ia menyoroti Undang-Undang Penyesuaian Pidana yang telah disetujui pemerintah dan DPR, namun hingga kini belum disahkan dan belum memiliki nomor.
“Substansinya sangat luas. Ada perubahan terhadap seluruh undang-undang di luar KUHP yang terdampak Buku I KUHP nasional, penyesuaian ribuan peraturan daerah, serta perbaikan atas berbagai kekurangan dalam KUHP 2023,” ujar Topo.
“Jadi, KUHP 2023 akan diubah dengan dikeluarkannya UU penyesuaian,” tambahnya.
Selain itu, Topo menyoroti belum diterbitkannya Undang-Undang penyesuaian pidana mati serta sejumlah peraturan pemerintah (PP) yang berkaitan dengan pidana yang hidup di masyarakat. Ia menyebut PP mengenai perubahan pidana mati menjadi penjara seumur hidup hingga kini belum terbit.
Di sisi lain, KUHAP 2025 juga masih membutuhkan sekitar 21 peraturan pemerintah pelaksanaan. Menurut Topo, persoalan tidak berhenti di tingkat undang-undang dan PP, karena masih diperlukan aturan teknis di masing-masing institusi penegak hukum.
Topo mengaku kerap menerima keluhan dari aparat kepolisian dan kejaksaan yang kebingungan menentukan ketentuan hukum yang akan digunakan ketika KUHAP baru mulai berlaku.
“Kalau tidak ada pengaturan teknis dan koordinasi yang jelas, bisa silang sengketa,” katanya.
Ia juga menilai sosialisasi KUHP nasional belum berjalan optimal. Meski secara formal telah berlaku lebih dari tiga tahun, waktu sosialisasi efektif dinilai sangat terbatas dan terdampak kebijakan efisiensi. Pelatihan hakim pun disebut baru menjangkau sekitar 1.500 orang secara daring.
“Cukupkah? Tidak,” tegasnya.
Sementara itu, Ketua Departemen Kriminologi UI, Iqrak Sulhin, menilai Indonesia tengah menghadapi fenomena involusi penegakan hukum, yakni kondisi ketika hukum semakin kompleks, namun kualitas keadilannya tidak berkembang.
“Bangsa ini sedang menghadapi involusi penegakan hukum,” ujar Iqrak.
Menurutnya, penegakan hukum kerap hanya menghasilkan keadilan prosedural dan menjauh dari keadilan substantif, terutama bagi masyarakat kecil.
Artikel ini ditulis oleh:
Eka Permadhi
















