Sebagai ibu kandung paham kapitalisme dan neoliberalisme, Amerika bahkan tidak segan-segan mencetak uang banyak-banyak untuk memompa ekonominya. Masih ingat kebijakan quantitative easing/QE-nya Amerika? The Fed rajin belanja obligasi pemerintah, menurunkan suku bunga dan meningkatkan pasokan uang.
Sejak 2008, sekitar US$4 triliun digelontorkan ke pasar. Hasilnya, mantap. AS berhasil keluar dari krisis pada 2009. Lalu secara bertahap Negeri Paman Sam itu mulai menerapkan tapering policy, karena dianggap ekonomi sudah mulai pulih.
Sampai di sini mestinya Jokowi sadar, bahwa berbagai kebijakan tim ekonominya bertabrakan dengan Nawacita dan Trisakti yang jadi jualannya saat ampanye Pilpres 2014 silam. Sari pati Nawacita dan Trisakti adalah keberpihakan kepada mayoritas rakyat. Nah, keberpihakan inilah yang tidak mendapat tempat di benak para menteri komparador neolib.
Inilah yang dimaksud dengan pertaruhan kedua. Pilpres bakal digelar 2019. Hanya sedikit waktu tersisa untuk menyelamatkan singgasana kepresidenan. Kalau perjudian terus dilanjutkan, bukan mustahil Jokowi akan terlempar dari istana karena keok di Pilpres. Rakyat yang dulu berharap pada sosok sederhana dan tidak neko-neko itu bakal kecewa berat. Kebijakan ekonomi sang pengibar Nawacita dan Trisakti Bung Karno ternyata tunduk pada kehendak majikan para antek neolib.
Kini saatnya Presiden memenuhi janji-janji Nawacita dan Trisakti. Pemangkasan anggaran, pengurangan dan pencabutan berbagai subsidi, dan pengenaan pajak yang kalap rakyat jelas bukan perkara remeh.Semua itu bisa mengancam perolehan suara dari lumbung-lumbung suara pendukung Jokowi.
Artikel ini ditulis oleh:
Wisnu