Warga mengamati sampah kayu gelondongan pascabanjir bandang di Desa Aek Garoga, Kecamatan Batang Toru, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, Sabtu (29/11/2025). ANTARA FOTO/Yudi Manar/agr/am.
Warga mengamati sampah kayu gelondongan pascabanjir bandang di Desa Aek Garoga, Kecamatan Batang Toru, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, Sabtu (29/11/2025). ANTARA FOTO/Yudi Manar/agr/am.

Jakarta, Aktual.com – Air, yang selama ini identik dengan kehidupan, berubah menjadi kekuatan yang memutus kehidupan. Dalam hitungan jam, limpahan itu menyapu Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Banjir tersebut membawa gelondongan kayu, seng berkarat, rumah-rumah, dan mimpi yang tak sempat terselamatkan.

Di bawah derasnya arus, jembatan runtuh, listrik padam, dan komunikasi terputus. Warga berlarian mencari perlindungan, merenggut apa yang masih bisa diselamatkan. November, yang biasanya menyimpan rasa hangat menjelang pergantian tahun, berubah menjadi bulan yang penuh duka.

Dalam kekacauan itu, terngiang lagu Sherina Munaf, “Indonesia Menangis.”
Bukan sekadar lirik, melainkan gambaran nyata dimana alam yang dilukai, dan luka itu akhirnya kembali menghantam manusia.

Namun air mata saja tak cukup. Di tengah kehancuran, yang dibutuhkan adalah tangan-tangan yang bekerja, hati-hati yang tulus, dan keberanian untuk menolong sesama.

Ribuan Jiwa Mengungsi, Ribuan Luka Menunggu Perhatian

Kementerian Kesehatan mencatat sekitar 847 ribu pengungsi, dengan Aceh menanggung beban terbesar. Jembatan yang dulu menghubungkan kehidupan, kini tinggal nama. Ketiadaan listrik memperburuk kondisi. 31 rumah sakit dan 156 puskesmas terganggu operasionalnya.

Di tengah kekurangan itu, penyakit bermunculan: demam, batuk, diare, hingga ISPA yang paling banyak menyerang anak-anak. Setiap napas yang tersengal menjadi pengingat betapa rapuhnya kehidupan di tengah bencana.

Negeri Bergerak: Dokter, Relawan, dan Bantuan Mengalir

Respons pemerintah tak menunggu lama. Obat-obatan dikirim, alat kesehatan dipenuhi, dan kerja sama dengan Pertamina memastikan listrik tetap menyala bagi fasilitas vital seperti bank darah.

Presiden Prabowo Subianto memerintahkan dokter magang turun langsung ke lapangan. Kemenkes merespons, mengirim para magang dan spesialis, dibantu Kemenhan untuk membimbing para tenaga muda itu.

Komunikasi yang sempat terganggu dipastikan kembali normal berkat Starlink. Penyedia layanan itu bahkan membebaskan biaya, menepis kabar adanya pungutan liar.

Di sisi lain, solidaritas tumbuh dari berbagai arah. NTT menyumbang Rp1,5 miliar, sebuah tanda bahwa rasa kemanusiaan tidak mengenal batas wilayah.

Palang Merah Indonesia mengirim 1.070 kantong darah, satu demi satu, untuk mereka yang membutuhkan—ibu yang kehilangan banyak darah, korban luka berat, dan pasien yang harus menjalani operasi.

Aset Negara Dikerahkan, Jalan dan Jembatan Disiapkan Kembali

Kementerian, lembaga, TNI, dan Polri bekerja tanpa jeda. Evakuasi, pemulihan, dan penilaian kerusakan dilakukan bersamaan. Menko PMK Pratikno menyebut percepatan rekonstruksi akan menjadi fokus: jalan, jembatan, jaringan listrik—semua harus bangkit kembali agar kehidupan kembali normal.

Mencari Akar Luka: Audit lingkungan diminta

Namun bencana tidak pernah berdiri tanpa sebab. Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq meminta penghentian sementara aktivitas perusahaan di DAS Batang Toru, termasuk sawit, tambang, dan pembangkit listrik.

Inspeksi udara dan darat menunjukkan bahwa kerusakan alam mungkin diperburuk aktivitas manusia. Audit lingkungan pun dilakukan, bukan sekadar mencari siapa yang salah, tetapi mencari cara agar bencana tidak kembali.

Di Tengah Luka, Solidaritas Menjadi Penopang

Air telah menelan banyak hal seperti rumah, jalan, dan rasa aman. Namun yang tersisa adalah sesuatu yang tak dapat hilang yakni solidaritas.

Di setiap sudut bencana, ada tangan yang menolong, doa yang dipanjatkan, dan harapan yang tetap bertahan. Karena di negeri yang diuji seperti ini, kekuatan terbesar bukan sekadar infrastruktur, melainkan manusia-manusia yang tak berhenti memberi.

Artikel ini ditulis oleh:

Tino Oktaviano