Bendahara PBNU Bina Suhendra bersama Ketua PBNU bidang hukum Robikin Emhaz, Ketua Umum PBNU Said Aqil Siroj, Sekjen PBNU Helmy Faishal Zaini, Wakil Ketua Umum PBNU Maksum Mahfud dan Ketua PBNU Bidang Agama  Abdul Manan Ghani berfoto bersama usai melakukan konferensi pers di kantor PBNU, Jakarta, Rabu (3/1). Keterangan pers yang bertajuk Muhasabah Kebangsaan : Doa, Harapan dan Optimisme di tahun 2018. AKTUAL/Tino Oktaviano

Jakarta, Aktual.com – Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menyatakan pernyataan resmi terkait pengesahan UU Cipta Kerja yang saat ini menjadikan polemik di tengah-tengah masyarakat.

Dalam pernyataan sikap tersebut, PBNU menghargai setiap upaya yang dilakukan negara untuk memenuhi hak dasar warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Namun dalam langkahnya, PBNU menyesalkan proses pengesahan UU Cipta Kerja yang terburu-buru, tertutup, dan tidak membuka diri terhadap aspirasi publik.

Dalam situasi ini, Nahdlatul Ulama berkomitmen untuk tetap memberamai pihak-pihak yang berupaya mencari keadilan dengan menempuh jalur konstitusional dengan mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi. Langkah ini akan menjadi jalur terbaik dan terhormat dalam mencari keadilan dibanding mobilisasi massa, apalagi di tengah pandemi yang belum mereda sampai dengan saat ini.

Berikut selengkapnya Sikap Resmi PBNU Terkait UU Cipta Kerja yang terdiri dari sembilan poin pernyataan:

1. Nahdlatul Ulama menghargai setiap upaya yang dilakukan negara untuk memenuhi hak dasar warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Lapangan pekerjaan tercipta dengan kesempatan mencoba. Kesempatan berusaha tumbuh bersama iklim usaha yang baik dan kondusif. Iklim usaha yang baik membutuhkan izin dan simplisitas birokrasi. UU Cipta Kerja untuk menarik investasi dengan harapan dapat memperbanyak lapangan pekerjaan dan mengalirkan bonus demografi sehingga dapat mengungkit pertumbuhan serta keluar dari negara berpenghasilan menengah (middle income trap).

2. Namun, Nahdlatul Ulama menyesalkan proses legislasi UU Ciptaker yang terburu-buru, tertutup, dan membuka diri terhadap aspirasi publik. Untuk membina bidang yang sangat luas, mencakup 76 UU, yang dibutuhkan kesabaran, ketelitian, kehati-hatian, dan Partisipasi luas para pemangku kepentingan. Di tengah pandemi, memaksakan pengesahan undang-undang yang menimbulkan suasana publik adalah bentuk praktek kenegaraan yang buruk.

3. Baik buka lapangan kerja tidak boleh terbuka dengan membuka semua hal menjadi komersial yang terbuka bagi setiapizinan berusaha. Sektor termasuk pendidikan bidang yang seharusnya tidak boleh dikelola dengan motif komersial murni, karena termasuk hak dasar yang harus disediakan negara. Nahdlatul Ulama menyesalkan kesalahan Pasal 65 UU Ciptaker, yang memasukkan pendidikan ke dalam bidang yang terbuka terhadap perizinan berusaha. Ini akan menjerumuskan Indonesia ke dalam kapitalisme pendidikan. Pada populasi pendidikan terbaik hanya bisa dinikmati oleh orang-orang berpunya.

4. Upaya menarik investasi juga harus dilindungi dengan perlindungan hak-hak pekerja. Pemberlakuan pasar tenaga kerja fleksibel (fleksibilitas pasar tenaga kerja) yang diwujudkan dengan perluasan sistem PKWT (Pekerja Kontrak Waktu Tertentu) dan alih daya akan merugikan tenaga kerja RI yang masih didominasi oleh pekerja dengan skil terbatas. Nahdlatul Ulama dapat memahami kerisauan para buruh dan pekerja terhadap Pasal 81 UU Ciptaker yang mengubah beberapa ketentuan di dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Penghapusan jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun bagi pekerja PKWT (Pasal 59) meningkatkan risiko pekerja menjadi pekerja tidak tetap sepanjang berlangsungnya industri. Pengurangan komponen hak-hak pekerja seperti uang pesangon, uang penghargaan, dan uang penggantian mungkin menyenangkan investor,

5. Upaya menarik investasi harus mematuhi perlindungan lingkungan hidup dan konservasi sumber daya alam. Menganakemaskan sektor yang ekstraktif dengan insentif dan diskresi kepada pelaku usaha tambang, seperti pengenaan tarif yang terjadi 0% yang tertuang di dalam Pasal 39 UU Cipta Kerja, mengancam lingkungan hidup dan mengabaikan ketahanan energi. Alih-alih mengubah isi UU No. 3 Tahun 2020 tentang Minerba yang mengokohkan dominasi negara dan oligarki, UU Cipta Kerja menambah dan memperlebar karpet merah bagi pelaku usaha. Pemerintah menjamin investasi dan diskresi tanpa batas bagi pelaku usaha tambang yang menjalankan usaha hulu-hilir secara terintegrasi untuk mengekstraksi cadangan mineral hingga habis. Ini mengabaikan dimensi konservasi, daya dukung lingkungan hidup, dan ketahanan energi jangka panjang.

6. Upaya menarik investasi tidak boleh didasarkan pada ketahanan pangan berbasis kemandirian petani. Pasal 64 UU Ciptaker yang mengubah beberapa pasal dalam UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan yang menjadikan penting sebagai soko guru penyediaan pangan nasional. Perubahan Pasal 14 UU Pangan menyandingkan impor dan produksi dalam negeri dalam satu pasal. Ini akan menimbulkan kapitalisme pangan dan memperluas ruang perburuan rente bagi para importir pangan.

7. Semangat UU Cipta Kerja adalah sentralisasi, termasuk dalam sertifikasi masalah halal. Pasal 48 UU Cipta Kerja yang mengubah beberapa ketentuan dalam UU No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal mengokohkan pemusatan dan fatwa monopoli kepada satu lembaga. Sentralisasi dan fatwa monopoli, di tengah antusiasme industri syariah yang tengah tumbuh, dapat mencapai kelebihan beban program yang Selain itu, negara mengokohkan paradigma bias industri dalam proses sertifikasi halal. Kualifikasi auditor halal yang ditegaskan dalam Pasal 14 adalah sarjana bidang pangan, kimia, biokimia, teknik industri, biologi, kedokteran, tata boga, atau pertanian. Pengabaian sarjana syariah sebagai auditor halal menunjukkan sertifikasi halal sangat bias industri, seolah hanya terkait proses produksi pangan,

8. Anggota Nahdlatul Ulama pihak-pihak yang berupaya mencari keadilan dengan menempuh jalur konstitusional dengan mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi. Dalam pandemi dan ikhtiar bersama untuk memotong suasana rantai penularan, upaya hukum adalah jalur terbaik dan terhormat dalam mencari keadilan mobilisasi massa.

9. Semoga Allah selalu melindungi dan menolong bangsa Indonesia dalam menyelesaikan berbagai masalah bangsa.

Pernyataan resmi ini ditandatangani langsung oleh Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj dan Sekretaris Jenderal H Helmy Faishal Zaini pada 8 Oktober 2020. (Ahn)

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: As'ad Syamsul Abidin