12 Juli 2006, Israel melancarkan serangan ke pos-pos Hizbullah di Lebanon Selatan. Serangan militer berskala besar dari negeri Zionis tersebut sejatinya bukan sekadar bermaksud pamer kekuatan, tapi ada sebuah tujuan yang lebih strategis dari pihak AS dan Israel. Yaitu sebagai langkah awal atau babak pembuka menuju sasaran sesungguhnya, yaitu menata ulang kawasan Timur-Tengah dengan menggunakan momentum serangan terhadap Hizbullah.

 

Yang tak disangka-sangka alias di luar perhitungan, Kalau pembaca jeli, sebenarnya isyarat tersebut sempat dinyatakan oleh Menteri Luar AS kala itu, Condoleezza Rice, bersamaan dengan dimulainya serangan militer Israel terhadap Hizbullah. “Kehancuran Israel ibarat menanti Kelahiran Timur-Tengah Baru,” begitu tutur menlu Rice. Dengan makna lain, semula serangan militer Israel tersebut akan dijadikan babak awal menuju serangan terhadap Iran.

 

Namun, Pimpinan tertinggi Hizbullah, Sayid Hasan Nashrullah, apa yang kemudian dikenal sebagai Perang Juli tersebut sayangnya gagal total. Sehingga Nasrullah kemudian menyindir ucapan Rice bahwa Perang Juli bukan ibarat menanti rasa sakit menjelan kelahiran, melainkan “rasa sakit mengalami keguguran.”

 

Yang mau dikatakan Nasrullah adalah, serangan Israel itu bukan saja gagal akibat perlawanan luar biasa dari Hizbullah, bahkan sebaliknya, Hizbullah berhasil melancarkan serangan balasan ke beberapa wilayah Israel. Selain menewaskan 164 tentara Israel, Hizbullah juga berhasil menembakkan ribua roket  ke kota-kota besar di Israel tanpa bisa ditangkis oleh sistem canggih penangkal rudal milik Israel.

 

Alhasil, yang semula serangan mendadak Israel itu dimaksudkan untuk menggertak Suriah dan pemanasan untuk menyerang Iran, jadi gagal total. Agaknya serangan Israel ini merupakan kesepakatan bersama antara pemerintahan Presiden George W Bush dan kelompok Neokonservatif yang tergabung dalam Galangan Kekuatan Zionis atau Zionist Power Configuration (ZPC) yang menurut James Petras, sudah mengkolonisasi Gedung Putih dan Gedung Kapitol Hill.

Dengan begitu, kemenangan Hizbullah dalam menangkal serangan Israel ke Lebanon Selatan, secara strategis dan taktis itu mengisyaratkan bahwa Israel nampaknya mustahil untuk mengalahkan Israel.

 

Namun demikian, hal ini mengungkap satu hal penting, betapa selain menginvasi Irak, AS dan Israel memang memandang Iran merupakan sasaran sesungguhnya yang harus segera ditaklukkan, dalam rangka menguasa sepenuhnya kawasan Timur-Tengah.

 

Gagalnya serangan Israel terhadap Hizbullah di Lebanon Selatan, justru mengungkap skema AS dalam menguasai Timur-Tengah. Yaitu Proyek Timur Tengah Baru. Menurut skenario, sebenarnya serangan Israel tersebut sedianya akan dilancarkan pada September 2006, bukan pada Juli 2006.

 

Kalau menelisik invasi AS ke Irak pada 2003, strategi yang diterapkan dalam mengendalikan Irak pasca kejatuhan Saddam Hussein adalah “memelihara perpecahan dan ketegangan etnik.” Dengan kata lain, adanya pertumpahan darah dan kekacauan seperti di Irak, hakikinya merupakan bentuk keberhasilan AS dan Israel memegang kekuasaan dan kendali.

 

Meski ini diterapkan di Irak, agaknya agenda yang sama bisa juga diterapkan di negara-negara lain di Timur-Tengah. Dengan begitu selain konflik etnik, konflik perbatasan, maupun antar mahzab seperti Sunny-Syiah, besar kemungkinan akan jadi model bagi AS dan Israel untuk melumpuhkan kawasan Timur Tengah.

 

Konflik Sunny-Syiah, Arab versus non Arab, fundamentalis versus sekular moderat, nampaknya itulah yang dimaksud dengan “memelihara perpecahan dan ketegangan etnik.” Skenario semacam ini semakin jelas dengan rekomendasi salah seorang pakar geopolitik AS Ralp Peters, agar pemerintah AS mendukung berdirinya Negara Kurdistan yang menurut informasi, ada sekitar 27 sampai 36 juta orang Kurdi di Timur Tengah.

 

Melalui rekomendasi Ralp Peters itu, nampak jelas bahwa berdirinya Negara Kurdistan akan menjadi pancangan kaki bagi kepentingan Barat di Timur Tengah. Untuk kemudian digalang sebagai sekutu strategis bagi AS dan Israel, untuk menghadapi persekutuan Arab-Persia yang anti Israel.

 

Kegilaan Ralp Peters rupanya tidak sampai di situ. Dia juga mengusulkan agar pemerintah AS mempertimbangkan untuk mendukung berdirinya Negara Arab Syiah yang terdiri dari mayoritas Syiah di Irak Selatan, minoritas Syiah di Arab Saudi dan Bahrain. Dalam perhitungan Ralp Peters, Negara Arab Syiah ini bisa digunakan untuk menghadapi Iran atau negara besar Sunny di Timur Tengah.

 

Tentu saja ini baru sebuah sketsa yang disodorkan para pakar geopolitik yang bekerja untuk kepentingan pemerintah AS seperti Ralp Peters. Namun setidaknya untuk jangka pendek, AS dan Inggris telah menerapkan satu cara potong kompas, yaitu invasi militer. Lalu terapkan kebijakan pecah-belah dan kuasai, alias devide et impera. Yang tujuannya, mengubah rezim dari masing-masing negara yang ada sekarang, supaya tunduk pada skema kepentingan AS dan Inggris.

 

Hanya saja ya itu tadi. AS dan Israel pada perkembangannya kemudian, hanya berhasil di Afghanistan dan Irak. Namun gagal untuk melanjutkan ke sasaran berikutnya yaitu menyerang Iran. Adapun Suriah, yang sebenarnya juga merupakan sasaran AS dan Israel untuk dilumpuhkan sejak 2011 lalu, pun juga mengalami kegagalan.

 

Sebab upaya AS dan NATO untuk mendukung kelompok-kelompok bersenjata menggulingkan Presiden Bashar al Assad, hingga saat ini masih berlarut-larut, karena Assad kemudian mendapat dukungan aktif dari Rusia dan dukungan pasif dari Cina. Terciptanya keseimbangan di Suriah antara blok AS-NATO versus Rusia-Cina, membuat Assaad mampu bertahan hingga sekarang. Alhasil, krisis Suriah yang sudah berlangsung selama enam tahun ini, masih tetap berkepanjangan. Dan belum ada titik temu menuju perdamaian.

 

Apakah Proyek Timur-Tengah baru yang dilancarkan pemerintahan Bush yang dirintis sejak 2001-2003 di Afghanistan dan Irak, akan dilanjutkan oleh Trump yang notabene berasal dari partai yang sama? Kita lihat saja nanti.  Namun yang jelas, Suriah dan Iran, kiranya tetap merupakan fokus perhatian, karena bukan tidak mungkin, titik awal ke arah tata ulang Timur-Tengah Baru atau bahkan mungkin pergantian peta baru Timur-Tengah, akan bermula dari Suriah dan Iran.

Hendrajit