Jakarta, Aktual.com – PT PLN (Persero) resmi mengakuisisi pembangkit listrik Blok Rokan yang dikelola PT Mandau Cipta Tenaga Nusantara (MCTN). Hal ini ditandai dengan penandatanganan Sales and Purchase Agreement (SPA) atau Perjanjian Jual Beli Saham antara PT PLN (Persero) dengan pemegang saham MCTN, pada Selasa (6/7/2021).
Direktur Utama PLN, Zulkifli Zaini, menyatakan bahwa akuisisi saham MCTN merupakan pembuktian atas komitmen PLN dalam menjaga kesinambungan suplai listrik Blok Rokan baik di saat masa peralihan ataupun jangka panjang.
Akuisisi saham MCTN merupakan tindaklanjut dari kesepakatan kerja sama antara PLN dan Pertamina Hulu Rokan, yang dituangkan dalam Nota Kesepahaman Kerja Sama Penyediaan Tenaga Listrik dan Uap Wilayah Rokan pada 30 Desember 2020. Serta Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik dan Uap pada 29 Januari 2021.
Namun akuisisi saham MCTN ini ternyata berpotensi menyebabkan kerugian negara. Berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK RI) tahun 2006 yang memeriksa buku tahun 2004 sampai 2005 terkait pembangkit listrik Blok Rokan ditemukan banyak kecacatan penting.
Kecacatan yang dimaksud adalah kecacatan secara peraturan (onwetmatigeheid) dan kecacatan secara hukum (onrechtmatigeheid) perjanjian Energy Service Agreemnet (ESA) antara PT Chevron Pasific Indonesia (CPI) dengan PT Mandau Cipta Tenaga Nusantara (MCTN).
Pemegang saham 95% MCTN adalah Chevron Standard Limited (CSL) yang terafiliasi dengan Chevron, sehingga merupakan related party transaction. Selain itu juga penunjukan MCTN oleh CPI ternyata tidak melalui proses tender. Adapun pemilik saham 5% MCTN PT Nusa Galih Nusantara adalah Yayasan Serangan Umum 1 Maret 1949.
Related party transaction dan penunjukan lansung sangat jelas melanggar Keputusan Presiden nomor 16 tahun 1994 tentang Pengadaan Barang dan Jasa (onwetmatige). Dalam LHP itu, BPK telah mengeluarkan beberapa rekomendasi, antara lain meminta agar mengusut siapa yang terlibat dalam pembuatan ESA (Energy Service Agreemnet) antara CPI dengan MCTN yang sangat bermasalah kelahirannya dari perspektif peraturan perundang-undangan.
Apalagi tarif listrik yang dibebankan MCTN kepada CPI yang relatif jauh lebih mahal dari tarif listrik PLN, ternyata sudah dibebankan kepada negara dengan skema cost recovery. Seharusnya sudah menjadi milik negara. Namun nyatanya pembangkit listrik itu oleh SKK Migas dinyatakan bukan menjadi milik negara, tetapi tetap milik MCTN yang berarti mengukuhkan (bekrachtiging) perjanjian ESA yang dinilai telah cacat hukum.
Sudah dibebankan kepada negara lewat mekanisme cost recovery, ternyata biaya akuisisi yang ditawarkan MCTN kepada PLN harganya relatif mahal (+/- Rp4 Triliun), tanpa memperhitungkan Cost Recovery yang sudah dibayarkan negara. Padahal berdasarkan UU Ketenagalistrikan, Blok Rokan termasuk Wilayah Produksi yang dikuasai oleh PLN. Ini bisa menjadi indikasi bahwa PT CPI telah mengaburkan persoalan pajak, yang di negara asalnya Amerika Serikat, masalah pajak Chevron ini tengah menjadi sorotan.
Dari berbagai macam permasalahan di atas, maka patut dipertanyakan mitigasi PLN atas risiko-risiko hukum yang mungkin timbul. Apakah proses akuisisi sudah mempertimbangkan temuan BPK? Apakah risiko-risiko hukum dari SPA ini sudah dikaji atau dianalisa dengan benar? Karena apabila SPA dilaksanakan bukan berdasarkan hukum yang berlaku di Indonesia, PLN semestinya sudah mendapatkan clean legal opinion dari legal counsel terpercaya.