Jakarta, Aktual.com – Syekh Ibnu Athaillah Assakandary berkata:

إِرَادَ تُــكَ الـتَّجْرِ يْدَ مَـعَ إِقَامَـةِ اللَّهِ إِ يَّـاكَ فيِ اْلأَسْبَابِ مِنَ الشَّـهْـوَ ةِ الْخَفِـيـَّة # وَ إِرَادَ تُـكَ اْلأَسْبَابَ مَعَ إِقَامَةِ اللَّهِ إِ يَّـاكَ فيِ الـتَّجْرِ يْدِ اِنحِطَاطٌ مِنَ الْهِمَّةِ الْعَـلِـيـَّةِ

Artinya: “Keinginanmu untuk melepaskan jiwa dari dunia (tajrid), dikala Allah SWT masih menempatkanmu di dalam hukum sebaba kibat (asbab) merupakan syahwat yang tersembunyi. Dan keinginanmu berada dalam hukum asbab, padahal Allah SWT telah menempatkanmu dalam maqom tajrid merupakan kemunduran dari himmah yang tinggi.”

Dalam menempuh perjalanan menuju Allah SWT, seorang murid hendaklah menyerahkan jiwa dan ketundukannya kepada ketetapan dan takdir yang Allah Swt. Seorang murid juga hendaknya istiqomah dan tidak terburu-buru dalam melangkah, sehingga dengan keterburu-buruannya itu terkadang ia terlupa pada maqam mana Allah SWT tempatkan dirinya.

Istilah tajrid secara bahasa memiliki arti penanggalan, pelepasan, ataupemurnian. Secara makna wiia adalah penanggalan aspek-aspek dunia dari jiwa (nafs), atau secara singkat bisa dikatakan sebagai pemurnian jiwa.

Sedangkan istilah asbab bisa dipahami sebagai proses sebab akibat yang telah menjadi sunnatullah di dunia ini. Contoh dari hukum sebab akibat yaitu; rezeki yang mesti diraih dengan bekerja; kenyang yang bisa didapatkan dari makan dan lain-lain.

Adapun pengertian syahwat secara bahasa memiliki arti tatapan yang kuat, atau keinginan. Secara makna wi merupakan keinginan kepada bentuk-bentuk material dan duniawi, seperti harta, makanan dan lawan jenis. Berbeda dengan syahwat, hawa-nafsu atau nafsu adalah keinginan kepada bentuk-bentuk non-material, seperti ego, kesombongan, dan harga diri.

Sedangkan himmah merupakan lawan kata dari syahwat, yang juga memiliki arti keinginan. Namun, bila syahwat merupakan keinginan yang rendah, maka himmah adalah keinginan yang tinggi;keinginan menuju Allah SWT.

Sebagaimana diketahui, bahwa apapun yang Allah SWT takdirkan kepada hambaNya adalah baik. Karena sungguh Dia lebih mengetahui apa yang dibutuhkan oleh hamba-Nya ketimbang diri sang hamba itu sendiri. Itulah mengapa dalam Al-Qur’an, Allah SWT berfirman:

وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

Artinya: “Boleh jadi engkau tidak menyukai sesuatu, padahal menurut Allah baik bagimu. Dan boleh jadi engkau menyukai sesuatu, padahal buruk bagimu. Allah Maha Tahu, sedang kita tidak mengetahui.”(QS.Al-Baqarah: 216)

Adakalanya Allah SWT menempatkan seseorang dalam dunia asbab, entah itu mencari nafkah, mengurus keluarga, atau memimpin negara, misalkan bila seseorang sedang Allah SWT tempatkan dalam kondisi asbab itu, namun dia berkeinginan untuk tajrid, misalkan dengan ber-uzlah dan menjauhi dunia, maka hal itu sesungguhnya adalah syahwat yang samar.

Sebaliknya, ketika Allah SWT menempatkan seseorang dalam tajrid, namun dia justru menginginkan asbab, maka itu merupakan sebuah kemunduran dari sebuah keinginan yang tinggi, yaitu keinginan menuju Allah SWT.

Inilah pentingnya untuk berserah diri dalam bersuluk, agar mengetahui kapan seseorang harus tajrid dan kapan seseorang harus terjun dalam dunia asbab. Karena semua kehendak seorang murid itu haruslah bekesesuaian dengan kehendak Allah SWT.

Laporan: Mabda Dzikara

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Andy Abdul Hamid