Menurutnya, kebijakan Jokowi ini sangat aneh dan tak masuk akal. Jangan-jangan, pernyataan Jokowi yang hanya mau, kerja, kerja, dan kerja yang sekarang ini hanyabpencitraan dengan pemaksaan kehendak yang justru akan menimbulkan risiko besar.
“Hal ini tidak seharusnya dilakukan oleh seorang Presiden. Jika pun harus, cukuplah di ruang rapat terbatas saja,” ujarnya.
Selain itu, kata dia, pemerintah juga menjamin akses reform, makanya untuk pelaksanaan program tersebut mendapatkan bantuan dari Bank Dunia untuk pengadaan sebuah sertifikat dibiayai Rp 525,000 per sertifikat. Namun ternyata ada potensi korupsi. Karena jumlah uang yang sudah dikucurkan tak jelas. Dan ada dugaan korupsi trliunan rupiah.
“Seperti yang pernah diklaim Joyo Winoto, mantan Kepala BPN yang katanya telah menyelesaikan 5 juta sertifikat program reforma agraria, namun sampai sekarang hasilnya tak jelas dan banyak makan korban staf di bawahnya yang masuk penjara,” ketus Anhar.
Dia menegaskan, justru satu hal yang seharusnya menjadi sasaran utama Jokowi dan Kementrian ATR/BPN adalah meninjau ulang pemberian hak guna usaha (HGU) yang telah diberikan kepada badan hukum swasta nasional atau asing yang mengantongi HGU puluhan ribu hektar dengan bentuk badan hukum.
“Karena jika ditelusuri orang-orang dalam badan itu terdiri dari satu keluarga. Bahkan mereka yang sudah meninggal pun ikut tercantum dalam badan hukum tersebut yang oleh UU diperbolehkan memiliki HGU sampai puluhan ribu hektar,” pungkas mantan Pimpinan Panja Pertanahan Anggota Komisi II DPR RI Periode 2004-2009 ini. (*)
(Busthomi)
Artikel ini ditulis oleh:
Eka