Matan Hadits

عَنْ أَبِي مُحَمَّدٍ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرو بْنِ الْعَاصِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يَكُوْنَ هَوَاهُ تَبَعاً لِمَا جِئْتُ بِهِ
[حَديثٌ حَسَنٌ صَحِيْحٌ وَرَوَيْنَاهُ فِي كِتَابِ الْحُجَّة بإسنادٍ صحيحٍ ]

 

Dari Abu Muhammad Abdillah bin Amr bin ‘Ash radhiallahuanhuma dia berkata : Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda : “Tidak beriman salah seorang di antara kalian hingga hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa “

(Hadits hasan shahih dan kami riwayatkan dari kitab Al Hujjah dengan sanad yang shahih.)

 

Faedah, Tanbih dan Hikmah Hadits

Hawa tidak sama dengan nafsu. Hawa adalah hasrat, syahwat, keinginan atau dorongan yang kuat. Sedangkan nafsu adalah kejiwaan dan kedirian (ananiyah) atau ego. Seperti keterangan dalam surah Ali Imran : 14

زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ ٱلشَّهَوَٰتِ مِنَ ٱلنِّسَآءِ وَٱلْبَنِينَ وَٱلْقَنَٰطِيرِ ٱلْمُقَنطَرَةِ مِنَ ٱلذَّهَبِ وَٱلْفِضَّةِ وَٱلْخَيْلِ ٱلْمُسَوَّمَةِ وَٱلْأَنْعَٰمِ وَٱلْحَرْثِ ۗ ذَٰلِكَ مَتَٰعُ ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا ۖ وَٱللَّهُ عِندَهُۥ حُسْنُ ٱلْمَـَٔابِ

Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga). (Ali Imran : 14)

Kalimat “Tab’an” dalam hadits ke-41 ini tidak hanya berarti sekedar mengikuti, tapi mengikuti dengan penuh kesadaran.
kita dikatakan memiliki iman yang sempurna ketika kita telah tunduk pada ajaran Rasulullah Saw. dengan menghidupkan sunnah-sunnah beliau. mengikuti perintahnya dan menjauhi larangannya serta mencintai perintah dan membenci setiap larangan.

Allah ta’ala berfirman:

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ

 

“Katakanlah (wahai Muhammad kepada umatmu): Jika kalian benar-benar mencintai Allah, maka ikutilah aku (Muhammad), niscaya Allah akan mencintai kalian dan mengampuni dosa kalian“. (QS. Alu Imron: 31).

Ada hadits dalam shahihain, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ

 

“Salah seorang di antara kalian tidaklah beriman sampai aku lebih ia cintai dari orang tua, anak dan manusia seluruhnya.” (HR. Bukhari, no. 15; Muslim, no. 44)

Dalam riwayat Muslim disebutkan,

لاَ يُؤْمِنُ عَبْدٌ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ أَهْلِهِ وَمَالِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ

 

“Seorang hamba tidaklah beriman hingga aku lebih ia cintai dari keluarga, harta, dan manusia seluruhnya.” (HR. Muslim, no. 44)

Hawa yang tidak dididik dan bertemu dengan nafsu hewaniah dan setaniah akan menjadi nafsul amarah. Namun jika dididik dengan ilmu, dzikir, dan amal sholeh (sunnah nabawi), dia akan mengantarkan kita kepada Allah SWT.

Imam Ghozali ra. berkata, “nafs bisa mengontrol hawa jika dibentengei oleh empat hal, yaitu hikmah (kebijaksanaan / kedewasaan), iffah (kesederhanaan / kecukupan), saja’ah (keberanian dalam amar ma’ruf nahi munkar), dan ‘adalah (keadilan).”

Jadikan resep ini sebagai bahan muhasabah setiap hari. Sudahkah hari ini aku berlaku adil? Sudahkah aku merasa cukup? Atau aku terlalu banyak menuntut kepada Allah? Sudahkah kita berani dalam beramar ma’ruf nahi munkar? Sudahkah kita bersikap dewasa dan bijaksana dalam menghadapi setiap persoalan kehidupan?

Berani juga berarti berani pada diri sendiri, berani untuk mendidik diri keluar dari energi negatif menuju energi positif. Paksa diri untuk selalu mengingat Allah dan beramal sholeh mengikuti tuntunan Rasulullah Saw.

Mendidik nafsu dengan menghilangkan sifat malas maupun ganas. Dan puasa adalah salah satu caranya. Lewat puasa kita belajar mengendalikan nafsu agar tidak menjelma menjadi nafsu ammarah yang penuh angkara murka. termasuk keinginan yang berlebihan untuk makan, minum, bergaul dengan istri dan sebagainya. Nafsu harus dididik sebagaimana bayi disapih, Imam Al-Bushiri ra. dalam burdahnya berkata;

 

والنفس كالطفل إن تهمله شب على
حب الرضاع وإن تفطمه ينفطم

 

“Nafsu itu seperti bayi. Jika kau biarkan, ia akan senantiasa menyusu hingga besar. Tapi jika kau menyapihnya, ia akan menjadi terhenti karenanya.”

Ingat, dalam islam diajarkan agar nafsu itu ditundukkan hingga menjadi nafsu yang tenang (muthmainnah), karena nafsu juga memiliki fungsi didalam kehidupan. bukan dimatikan seperti yang dilakukan para pendeta dan rabi-rabi di luar Islam yang menolak untuk menikah dan berlebihan dalam memutus nafsu.

Ketika nafsu telah tenang dengan Allah, tenteram dengan mengingat-Nya, berpulang kepada-Nya, rindu berjumpa dengan-Nya, bersandar pada kedekatan-Nya, maka itulah nafsu muthmainnah. Nafsu ini pula yang diseru jadi hamba yang ridha dan diridhai:

يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ ارْجِعِي إِلَى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَّرْضِيَّة

“Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha lagi diridhai-Nya,” (QS. al-Fajr [89]: 27-28).

Wallahu a’lam bisshawaab

 

Resume Kajian Dhuha Kitab Arbain Nawawi Bersama KH. Muhammad Danial Nafis Hafizhahullah
(Via zoom Cloud Meeting 05. 30- 07.00 WIB Ahad 25 Ramadhan 1441 / 17 Mei 2020)

Artikel ini ditulis oleh:

As'ad Syamsul Abidin