Jakarta, Aktual.com – Kalangan arsitek mengkritik ulah Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang doyan gusur pemukiman warga dengan dalih ‘penataan’. Dimana istilah penataan itu kerap digunakan Ahok sebagai dalih untuk lakukan penggusuran.
Wakil Ketua Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) Jakarta, Ariko Andikabina Amansyah menegaskan kalau penataan tidak sama dengan penggusuran. Begitu pun dengan penggusuran, tidak sama dengan penataan. “Beda artinya,” ucap dia kepada Aktual.com, di Luar Batang, Penjaringan, Jakarta Utara, Jumat (15/4).
Penataan, tidak perlu menggusur atau mengusir warga dari tanah kelahirannya seperti yang baru-baru ini dilakukan Ahok di kawasan Pasar Ikan dan Akuarium. Menurut Ariko, Pemprov DKI sebenarnya bisa berunding dengan warga untuk merumuskan seperti apa wajah Pasar Ikan ke depannya. Misal dengan membentuk suatu konsolidasi tanah (land consolidation).
Adapun land consolidation adalah sebuah kesepakatan antara warga dan pemerintah untuk menciptakan penataan ruang yang disepakti dua belah pihak. Sedangkan menggusur, itu berarti mengeluarkan penduduk dari daerah yang dimaksud. “Dipaksa keluar, diusir disertai dengan perusakan tempat tinggal warga (diratakan),” ujar arsitek yang terlibat dalam masterplan Sawahlunto untuk World Heritage Unesco itu.
Dalih revitalisasi
Ada satu istilah lain yang kerap digunakan Ahok sebagai alasan penggusuran, yakni revitalisasi. Ini pun tak luput dari sorotan Ariko. Sebab menurut dia, kalau Ahok mengatasnamakan revitalisasi, maka harus dijelaskan rencana revitalisasi yang seperti apa. Karena revitalisasi mempunyai arti mengembalikan fungsi vital suatu wilayah sehingga wajib untuk Ahok menjelaskan rencananya.
“Fungsi vital apa yang mau divitalkan kembali? Rencananya ada nggak? pak Gubernur kan selalu bilang ‘kita cuma mau bikin sheet piling, nggak perlu rencana detail’. Kalau nggak ada rencana detail, ya nggak bisa pak Gubernur bilang revitalisasi,” ucap dia.
Dijelaskan dia lebih lanjut, revitalisasi itu harus tahu perencanaannya seperti apa. “Plan-nya seperti apa, akhirnya seperti apa. Revitalisasi wajib ada planning-nya,” ujar dia.
Terlebih untuk kawasan Cagar Budaya, Pemprov DKI mesti menjelaskan metodologi penataannya. Tidak sekedar melakukan perubahan semata. Karena bagi Ariko, hal itu bisa sangat mengancam nilai Cagar Budaya itu sendiri.
“Di cagar budaya akan dipertanyakan metodologinya seperti apa. Apakah diperlukan eskavasi sebelumnya? Nggak boleh menggusur di lahan cagar budaya apapun bentuknya. Apalagi, pakai beckhoe, itu nggak boleh. Jangan-jangan yang dia garuk itu ada artefak yang tidak diketahui. Nah itu berbahaya di cagar budaya,” pungkas Ariko.
Artikel ini ditulis oleh: