Petugas menghitung uang dolar AS di Kantor Cabang BNI Melawai, Jakarta, Selasa (15/9). Nilai tukar rupiah terpuruk terhadap dolar Amerika Serikat (AS) menjelang Federal Open Market Committee (FOMC), Selasa (15/9) menyentuh level Rp 14.408 per dolar AS atau melemah 0,52 persen dibandingkan hari sebelumnya Rp 14.333 per dolar AS. ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma/ama/15

Jakarta, Aktual.com — Meski beberapa hari terakhir ini penguatan rupiah menunjukkan tren yang positif, namun pemerintah dan stakeholder tetap diminta untuk Hati-hati dengan  penguatan rupiah dan IHSG saat ini. Pasalnya, penguatan rupiah tersebut hanya sebagai akibat derasnya hot money yang masuk ke pasar portofolio.

Ekonom dari Universitas Indonesia (UI) Rizal E Halim mengungkapkan, dana panas mengalir ke Indonesia tersebut sebagai akibat sejumlah negara maju kini dalam kondisi tertekan ditambah kebijakan menerapkan suku bunga negatif.

“Bagi pemilik modal atau investor tentunya akan berusaha mendapatkan return yang optimal dari setiap nilai investasinya,” katanya ke Aktual.com, Kamis (10/3).

Rizal menuturkan, dengan  pertumbuhan melambat, deflasi, dan suku bunga negatif, investor akan mencari pasar yg relatif masih tumbuh positif  dan suku bunga yg menarik.

“Dan salah satunya Indonesia. Inilah yang membuat pasar uang, pasar modal dan surat utang dibanjiri capital inflow dan kemudian membuat rupiah terapresiasi,” tuturnya.

Namun perlu dicatat bahwa realita ini sangat rentan dengan pembalikan modal (sudden reversal) ketika sentimen di atas mulai dibenahi, misalnya Tiongkok mulai melawan aliran modal keluar atau The Fed yang akan menaikkan suku bunganya ataukah harga minyak kembali naik.

“Kondisi ini tentunya akan menjadi pemicu pembalikan modal yang cepat karena dana panas yang masuk melalui pasar-pasar yang mudah keluar dan mudah masuk,” ujarnya.

Olehnya itu, lanjut Rizal kondisi ini perlu menjadi fokus perhatian pemerintah. Pemerintah perlu mengambil langkah-langkah antisipasi misalnya bagaimana memperkuat sistem stabilitas keuangan di tengah gempuran dana panas investor asing.

“Jadi perlu kehati-hatian. Sebaiknya dipikirkan instrumen untuk meminimalisir eksodus modal ketika terjadi pembalikan arah,” lanjutnya.

Rizal membeberkan, yang harus diingat saat ini adalah struktur pasar modal kita mencapai 63 persen dikuasai asing, selain pasar surat utang 40 persen dikuasai asing.

“Bayangkan jika investor asing itu tiba-tiba menarik dananya atau memindahkan dananya ke negara lain,” bebernya.

Dan kondisi ini merupakan peluang besar terjadi, karena instrumen investasi baik pasar modal maupun surat utang bercirikan spekulasi.

“Ini yang perlu diantisipasi, jangan terlena dengan penguatan rupiah dan IHSG. Perbaiki struktur pasar dan perkuat sektor riil . Itu yang paling mendesak dilakukan saat ini,” tutupnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Eka