Ilustrasi covid-19, corona. /pixabay

Jakarta, Aktual.com – Pemerintah akan melaksanakan tes massal (rapid test) untuk mendeteksi virus corona (covid-19). Namun tahukah anda jika test massal ini belum tentu memberikan hasil yang akurat.

Mungkin bisa jadi terdeteksi positif, namun ternyata sebenarnya negatif. Begitupun sebaliknya. Ini yang sangat mengkhawatirkan, ketika hasil tes negatif, namun ternyata dia positif dan akhirnya berkeliaran bebas, malah akan menularkan covid-19 semakin luas.

Begini penjelasannya…

Ketua Umum Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Spesialis Patologi Klinik dan Kedokteran Laboratorium Indonesia (PDS PatKln), Prof. DR. Dr. Aryati, MS, Sp.PK(K), mengatakan, ada beberapa hal yang harus diperhatikan terkait rapid test.

Hal ini karena rapid test ada potensi memunculkan hasil negatif palsu atau hasil positif palsu. Ini bisa muncul karena adanya infeksi virus corona jenis lain di masa lalu.

Seperti dikeahui, ada beberapa coronavirus yakni Human Pathogenic Cov (HCoV), SARS-CoV, MERS-CoV, dan pathogenik coronavirus lainnya.

“Karena (jenis) corona banyak di masa lalu itu, antibodi yang pernah timbul bisa saja terdeteksi,” jelas Aryati.

Selain itu, adanya kemungkinan cross reactive atau reaksi silang dengan jenis corona yang lain atau jenis virus yang memiliki kemiripan, bisa menimbulkan adanya false positive.

Ia mencontohkan, hal itu terjadi di Singapura. Ada dua kasus diduga demam berdarah, ternyata Covid-19. “Jadi artinya hati-hati,” kata dia.

Antibodi timbul karena masuknya antigen ke tubuh seseorang. Oleh karena itu, butuh waktu masa inkubasi atau windows periode.

Aryati mengungkapkan, deteksi antibodi terhadap SARS-CoV2 dengan metode imunokromatografi (rapid test) belum ada penjelasan kinetika antibodinya.

Hal itu karena virus jenis ini masih baru sehingga belum banyak ilmuwan yang menentukan dengan jelas kinetika antibodi virus itu. Inilah yang dikhawatirkan bisa menimbulkan adanya kasus negatif palsu.

“Itulah (masa inkubasi) waktu yang sebetulnya sangat penting di mana biasanya saat virus mulai turun, antibodi meningkat. Jadi bisa terjadi antibodi negatif,” kata Aryati.
“Dikira negatif, tidak sakit. Padahal belum tentu. Bisa saja dia terpapar, tapi belum kelihatan oleh antibodi yang timbul. Sehingga orang yang seharusnya dilakukan pengawasan atau karantina bisa berkeliaran menularkan ke orang lain,” lanjut dia.

Aryati menambahkan, jika hasil tes dengan rapid test hasilnya positif, maka sebaiknya dikonfirmasi kembali dengan tes Polymerase Chain Reaction (PCR).

“Tapi kalau hasil negatif dia belum melewati inkubasinya, saya sarankan untuk dilakukan pengambilan sampel ulang 7 hari kemudian dari hari pertama tadi. Misal batuk, diperiksa negatif, jangan senang dulu. Cek lagi hari ke-12. Kalau dicek lagi positif, berarti ya positif,” kata Aryati.

Pelaksanaan tes menggunakan rapid test secara massal, lanjut Aryati, bisa dilakukan jika bertujuan melihat paparan virus.

“Kalau teman-teman dari bagian epidemiologi ingin melihat ada paparan enggak sih di daerah Jakarta Barat, misalnya. Ya silakan saja karena enggak terkait dengan orang itu untuk diterapi. Tapi kalau untuk dignosis, tentu perlu pertimbangan tadi, kalau negatif diulang. Kalau positif dilanjut dengan PCR,” kata dia.

Aryati mengingatkan tenaga kesehatan harus memahami dengan benar terkait tes yang dilakukan. Terutama terkait alur tes maupun pengetahuan bahwa hasil positif seharusnya dilanjutkan dengan PCR dan memberikan pengertian kepada keluarga. Jika tidak, ia khawatir terjadi kepanikan masif seandainya mereka yang dites menunjukkan hasil positif.

“Jika itu tak disikapi dengan baik oleh pemeriksanya, entah dokter atau pengirimnya, itu bisa jadi kehebohan nasional,” kata Aryati.

Metode deteksi virus Lebih jauh, Aryati menjelaskan, ada empat metode yang bisa digunakan untuk mendeteksi virus. Metode tersebut adalah melalui: Kultur, Molekuler, Antigen, Antibodi.

Metode dengan keakuratan paling tinggi adalah metode kultur atau biakan virus. Akan tetapi metode ini sulit dilakukan karena biayanya mahal serta memerlukan tenaga terlatih.
Adapun metode PCR yang selama ini digunakan termasuk metode molekuler. Metode ini memiliki keakuratan di bawah metode kultur.

“Molekular itu deteksinya asam nukleat yaitu DNA atau RNA dari patogen tersebut. Nah itu yang dipakai untuk deteksi SARS-CoV2 selama ini,” lanjut dia.

Metode ketiga, antigen, memiliki keakuratan di bawah PCR. Akan tetapi metode ini belum ada reagennya di Indonesia.

Sementara, metode keempat, dengan kepercayaan terendah, adalah metode antibodi. Salah satu metode antibodi adalah rapid test.

“Tetapi memang antibodi itu mudah didapat, dikerjakan. Bisa dari sampel darah, darah utuh, bisa serum, bisa pula plasma,” pungkasnya.