Jakarta, Aktual.co —Bicara tentang sejarah Iran modern, tak mungkin tidak menyebut nama Ayatullah Ruhullah Khomeini. Peran ulama besar Syiah kelahiran 21 September 1902, yang sering disebut Imam Khomeini ini, sangat besar dalam Revolusi Islam, yang menggulingkan kekuasaan Shah Mohammad Reza Pahlavi di Iran.
Revolusi Iran adalah revolusi yang bersifat populis, nasionalis, dan Islam Syiah. Revolusi ini menggantikan sistem monarki diktatorial warisan Shah Iran dengan teokrasi berdasarkan sistem “velayat-e faqih” (perwalian oleh para ahli hukum Islam). Revolusi ini merupakan bagian dari perlawanan kubu konservatif terhadap upaya westernisasi dan sekulerisasi oleh rezim Shah yang didukung Barat.
Dari perspektif lain, revolusi ini juga merupakan reaksi yang tidak begitu konservatif terhadap ketidakadilan sosial dan berbagai kekurangan lain dari rezim monarki lama. Shah dipandang oleh banyak rakyat Iran sebagai antek atau boneka kekuatan Barat non-Muslim atau Amerika Serikat. Rezim Shah juga dianggap bersifat menindas, brutal, korup, dan boros. Program ekonomi Shah yang terlalu ambisius justru menghasilkan inflasi, kekurangan, hambatan ekonomi, dan kegagalan negara dalam pemenuhan fungsi-fungsi dasar.
Jika melihat latar belakang revolusi Iran, kaum ulama Syiah sebagai aktor penting memang sejak lama memiliki pengaruh signifikan terhadap mayoritas warga Iran. Warga Iran ini cenderung religius, tradisional, dan teralienasi dari setiap proses Westernisasi. Kaum ulama pertama kali menunjukkan diri sebagai kekuatan politik penting, ketika mereka menentang monarki Iran lewat aksi boikot Protes Tembakau pada 1891.
Aksi ini secara efektif meruntuhkan konsesi monopolistik yang tidak populer, yang diberikan Shah pada perusahaan Inggris untuk membeli dan menjual tembakau di Iran. Bagi sejumlah kalangan, insiden ini mendemonstrasikan bahwa ulama Syiah adalah “garis pertahanan terdepan Iran” dalam melawan kolonialisme.
Pendiri dinasti Pahlavi, Jenderal Reza Pahlavi, mengganti hukum Islam dengan hukum Barat dan melarang busana Islam tradisional, pemisahan perempuan-lelaki, dan penggunaan chador atau hijab oleh kaum perempuan. Perempuan yang menentang larangan hijab di depan publik ini akan dipaksa membuka hijabnya. Pada 1935, pemberontakan oleh warga Syiah yang taat agama di kawasan makam Imam Reza di Mashhad ditindas dengan kekerasan, yang menyebabkan puluhan warga tewas. Hal ini merusak hubungan antara Shah dan warga Syiah di Iran.
Khomeini pertama menjadi terkenal secara politik pada 1963, ketika dia memimpin oposisi terhadap Shah serta program-program reformasi Shah, yang dikenal sebagai Revolusi Putih. Revolusi Putih bertujuan membongkar kepemilikan tanah yang dikuasai sejumlah ulama Syiah, mengizinkan kaum perempuan memberi suara, kesetaraan untuk kaum perempuan dalam isu-isu perkawinan, dan hak minoritas religius untuk memegang jabatan pemerintahan.
Khomeini mengumumkan, Shah telah menjalankan “penghancuran Islam di Iran.” Khomeini pun ditangkap pada 5 Juni 1963. Lalu, selama tiga hari kemudian terjadilah kerusuhan besar di seluruh Iran. Para pendukung Khomeini mengklaim, 15.000 warga terbunuh oleh tembakan aparat keamanan. Khomeini lalu menjalani tahanan rumah selama 8 bulan.
Sesudah bebas, ia kembali mengecam kedekatan rezim Shah dengan Israel, serta “penyerahan” rezim Shah pada AS. Waktu itu Shah memberikan perluasan imunitas diplomatik untuk personel pemerintah AS di Iran. Pada November 1964, Khomeini ditangkap kembali dan dikirim ke pengasingan, di mana ia bertahan di luar negeri selama 14 tahun, sebelum akhirnya kembali ke Iran sesudah jatuhnya rezim Shah Reza Pahlavi.
Khomeini mengkotbahkan bahwa revolusi, khususnya jihad, dalam melawan ketidakadilan dan tirani merupakan bagian dari Islam Syiah. Maka Muslim harus menolak pengaruh kapitalisme mau pun komunisme dengan slogan “Neither East, nor West – Islamic Republic!” (bukan Timur ataupun barat, tetapi Republik Islam).
Untuk mengganti rezim Shah, Khomeini mengembangkan ideologi “velayat-e faqih” sebagai pemerintah, bahwa Muslim –yang berarti setiap orang—membutuhkan “perwalian” dalam bentuk aturan atau supervisi dari para ahli hukum Islam terkemuka.
Aturan itu akan melindungi Islam dari penyimpangan terhadap hukum syariah tradisional, dan dalam proses itu juga menghapuskan kemiskinan, ketidakadilan, dan penguasaan wilayah Muslim oleh orang asing yang kafir. Bagi Khomeini, pembentukan dan kepatuhan terhadap pemerintah Islam ini “sebenarnya adalah ekspresi kepatuhan terhadap Allah,” dan ini suatu ketetapan buat seluruh dunia, bukan terbatas untuk Iran.
Faktor utama yang berperan dalam keberhasilan Khomeini sebagai “Bapak Revolusi Islam di Iran” adalah kepercayaan diri, karisma, dan yang terpenting kemampuannya untuk memenuhi imajinasi massa. Caranya, dengan menghadirkan dirinya sendiri sebagai pengikut jalan yang ditempuh oleh Imam Syiah ke-3, Hussein bin Ali bin Abi Thalib. Pada saat yang sama, Khomeini menggambarkan Shah Iran sebagai versi modern dari musuh Hussein, yakni khalifah dan penguasa tiran yang sangat dibenci: Yazid bin Muawiyah.
Khomeini juga bisa menampilkan diri sebagai Imam yang Tersembunyi di Paris, dengan mengirim pesan-pesannya –lewat kaset rekaman kotbah Jumat, dan sebagainya– lewat utusan-utusan khusus. Dengan melakukan hal itu, ia dipandang oleh jutaan rakyat Iran sebagai figur penyelamat, dan menginspirasi ratusan orang untuk berjihad mempertaruhkan nyawa melawan rezim yang berkuasa.
Di sisi lain, ada rasa percaya diri yang berlebihan dari kalangan Muslim sekuler dan modernis tentang kemampuan mereka untuk mengontrol revolusi. Mereka meyakini bahwa kaum ulama tidak akan mampu memerintah negara, sehingga harus menyerahkan kekuasaan ke pihak lain. Itulah sebabnya kelompok sekuler gagal mengantisipasi dominasi total Khomeini atas revolusi Iran, dan kegagalan fatal inilah yang membuat mereka tersingkir dari panggung kekuasaan di Iran.
Khomeini wafat pada 3 Juni 1989. Namun warisan sistem “velayat-e faqih” ciptaannya dan Republik Islam Iran ternyata tetap bertahan sampai sekarang. Revolusi Islam di Iran sempat menimbulkan kerisauan di berbagai negara Arab, khususnya yang menganut sistem monarki, bahkan juga di sebagian kalangan di Indonesia. Kerisauan itu muncul karena watak revolusioner Revolusi Islam di Iran dan semangat Khomeini untuk “mengekspor revolusi.”
Jakarta, 29 April 2015
E-mail: arismunandar.satrio@gmail.com
Artikel ini ditulis oleh: