Tujuh Fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat RI telah bersepakat mengesahkan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus Law) menjadi UU, pada Senin (5/10) kemarin. UU yang kemudian menjadi kontroversi karena di dalam pasal-pasalnya lebih banyak menguntungkan pihak Pengusaha, sementara rakyat kecil yang banyak sebagai Buruh akan terkorbankan.

Menjadi pertanyaan besar dari UU ini, mengapa disahkan di saat negara tengah menghadapi pandemi covid-19, dimana rakyat dibatasi geraknya untuk memperjuangkan hak demokrasinya? Padahal jika para anggota dewan yang terhormat itu mengerti akan nilai-nilai berdemokrasi, tentunya bisa menunda pembahasan tersebut, sampai kemudian RUU bisa diterima oleh semua kalangan.

Nampaknya para anggota dewan yang terhormat, menjadikan celah dibatasinya gerak masyarakat akibat pandemi covid-19 ini untuk leluasa mengesahkan peraturan yang nantinya akan menuai kontroversi dan sulit untuk diimplementasikan.

Tiada lain pilihan, bahwa rakyat bersama para buruh harus lantang menyuarakan menolak UU Cipta Kerja tersebut, melalui aksi-aksi jalanan. Supaya negara yang telah dipenuhi para oligarki ini tahu, bahwa memutuskan sebuah peraturan di saat rakyat tengah menghadapi pandemi, sama saja mengkhianati nilai-nilai demokrasi. Apalagi peraturan tersebut tidak berpihak kepada rakyat banyak.

Mengapa UU tersebut harus ramai-ramai ditolak oleh rakyat? Karena jika tidak ditolak maka yang akan menjadi korbannya adalah:

1. Rakyat bekerja tidak lagi dihitung berdasarkan upah minimum, sehingga tidak ada lagi pemberlakukan sistem UMP/UMR.
2. Hak-hak dasar rakyat yang bekerja semakin dihilangkan. Para pengusaha akan memperlakukan para pekerjanya ibarat seperti mesin.
3. Rakyat yang mengalami putus hubungan kerja akan kehilangan hak pesangonnya.
4. Sistem Outsourching (Kerja Kontrak) akan semakin bebas dipergunakan tanpa ada batas waktunya.

Cara licik ala penjajah VOC mulai dijalankan oleh Pemerintah selaku pihak yang menginisiasi lahirnya UU yang katanya akan semakin menggairahkan semangat berinvestasi. Di antaranya dengan menawarkan jabatan Wakil Menteri Ketenagakerjaan dan Wakil Menteri Koperasi dan UKM kepada pimpinan aliansi buruh terbesar di Indonesia yakni KSPI dan KSPSI.

Jika pemerintah ingin menggairahkan semangat masuknya investasi ke Indonesia, seharusnya pemerintah berfikir untuk tidak mengorbankan rakyat. Apa bedanya pemerintah dengan penjajah VOC, dengan atas nama membuka lapangan kerja lantas rakyat yang banyak menjadi buruh terus dikorbankan.

Dimana semangat pro rakyat yang selalu didengungkan oleh pemerintah? Dimana semangat nawacita yang selalu didengungkan Presiden Jokowi?

Jika kemudian pemerintah dan DPR menghalalkan segala cara dengan menggunakan cara licik dalam meloloskan RUU ini menjadi UU, maka tiada pilihan lain, bahwa “Rakyat Harus Melawan Lewat Aksi Jalanan!”