Waspadai balkanisasi nusantara. (ilustrasi/aktual.com)

MENINGGALKAN SEJARAH INDONESIA, MEMBUAT INDONESIA MENJADI SEJARAH

(Batara R Hutagalung, Investigator Sejarah Indonesia)

Agaknya gerakan untuk menghapus pasasl 156a KHUP yang dimotori oleh para simpatisan Gubernur Petahana Basuki Tjahja Purnawa (Ahok) sudah bukan sekadar isu hukum. Melainkan sudah diperluas lingkupnya menjadi bagian integral dari Politisasi Hak-Hak Asasi Manusia. Yang mana HAM, Demokrasi dan Lingkungan Hidup kerap digunakan negara-negara blok Barat seperti AS dan Uni Eropa sebagai alat penekan politik luar negeri mereka.

Inilah yang mengherankan kita mengapa masalah yang sejatinya terbatas dalam lingkup isu hukum yang berskala nasional, sontak melebar jadi isu internasional. Nampaknya, internasionalisasi isu pasal 156a KUHP yang sejatinya berada dalam lingkup kedaulatan nasional kita di bidang hukum, sedang dimanipulasi sebagai tahapan tebar isu kalangan internasonal untuk cipta kondisi. Yaitu terjadinya pelemahan internal NKRI.

Sebab dalam tahapan pola Perang Asimetris, setelah tahapan tebar isu berhasil direspons sesuai harapan, maka kemudian akan dikembangkan ke tahapan selanjutnya, yaitu mengangkat sebuah tema atau agenda sebagai landasan menyusun suatu gerakan.

Apa agenda yang hendak disasar? Pada 1998 sebuah lembaga think thank yahg disponsori Pentagon, Rand Corporation, merekemondedasikan pemerintahan Presiden Bill Clinton agar Indonesia dibagi 7 bagian sebagai negara-negara yang terpisah. Seperti Papua, Aceh, Kalimantan Timur, Bali, Nusa Tenggara Timur, dan lain sebagainya. Yang tersisa kemudian hanya Jakarta dan Jawa.

foto buat aktual review senin 15 april

Meski pemerintahan AS sudah beralih ke tangan ke George W Bush, Barrack Obama dan sekarang Donald Trump, namun rekomenndasi Rand Corporation yang kami istilahkan sebagai Balkanisasi Nusantara hingga kini belum dicabut atau ditinjau ulang. Artinya, skema ini setiap saat siap dimainkan dan dioperasionalisasikan sesuai situasi dan kondisi yang berkembang di dalam negeri Indonesia.

Maka, ketika seruan dan tekanan untuk mencabut pasal 156a KUHP tersebut justru muncul dari komunitas internasional seperti Kantor Komisioner Hak-Hak Asasi Manusia Asia Tenggara, Perserikatan Bangsa-Bangsa (OHCHR), Kantor Perwakilan Uni Eropa dan Amnesty Internasional, maka kiranya cukup beralasan untuk mengatakan bahwa Balkanisasi Nusantara sedang dalam tahap pematangan.

Dalam skenario Perang Asimetris yang dilancarkan asing, tebar isu mencabut pasal 156a sebagai tahapan awal, diharapkan untuk menkondisikan terciptanya konflik horizontal di bumi nusantara.

Menurut analisis M Arief Pranoto, pakar geopolitik Global Future Institute kepada Aktual, inilahi yang diinginkan oleh kaum penjajah asing. Indonesia dipecah-pecah menjadi beberapa negara kecil berbasis agama dan/atau etnis. Dalam skenario mereka, Nation state bubar, diganti ethnic state, religion state, corporate state, dan sebagainya. Inilah skema besar yang mereka bayangkan. 

Dalam cermatan Arief Pranoto selanjutnya, masyarakat kita digiring agar larut dan terpancing untuk menyikapi isu yang sejatinya sedang dimainkan oleh sang pemilik hajat. Merujuk pada pada serangkaian riset yang dilakukan oleh tim Global Future Institute, Pranoto mengatakan cita rasa terlezat dalam rangka balkanisasi di beberapa negara selain konflik antarmazhab (di Timur Tengah), juga sering memainkan menu-menu lokal yang bernuansa SARA sangat digemari.

Kenapa? Karena selain kebhinneka-timggal ikaan yang relatif lestari, juga di Bumi Pertiwi ini tumbuh subur serta berkembang apa yang disebut “sentimen,” baik sentimen kedaerahan, sentimen terhadap figur (bahkan cenderung ke kultus individu) maupun sentimen agama, dan lain-lain.

Di sinilah perlunya meningkatkan kewaspadaan terhadap manuver asing dalam memainkan isu HAM. Belanda, misalnya, yang pernah menjajah Indonesia selama 350 tahun, paling getol mengangkat isu pelanggaran HAM di Indonesia sejak era pemerintahan Suharto.

Tak heran setelah mencuatnya kasus penistaan agama yang dilakukan oleh Ahok, Belanda seakan mendapat amunisi baru. Dan segera melancarkan lagi serangan terhadap Indonesia.

Ini bukan peristiwa pertama yang terjadi di Indonesia, yang di “internasionalisasikan” oleh orang-orang Indonesia, yang menjadi kakitangan dan antek-antek asing. Yang selalu gencar memojokkan Indonesia dengan isu pelanggaran HAM adalah mantan penjajah dan sekutunya, yaitu Belanda, Inggris, Australia dan Amerika Serikat (ABDACOM). Kemudian diikuti oleh Jerman (yang ingin memoles citra Jerman yang dikenal sebagai penjahat perang dalam Perang Dunia II) dan Perancis (ada warganya, gembong narkoba di RI yang telah dijatuhi hukuman mati).

Sejak lebih dari 25 tahun, Jerman juga “ikut bermain” di Aceh, Maluku, Papua dan (dulu) Timor-Timur. Selain itu, yang juga  berkepentingan besar untuk memecah-belah dan  menguasai Indonesia adalah Singapura dan Cina.

Sebagaimana telah sering saya tulis selama  bertahun-tahun, bahwa sejak berakhirnya Perang Dingin tahun 1990, Indonesia menghadapi Perang Asimetris (Asymmetric Warfare) yang dilancarkan oleh Amerika dan  sekutu-sekutu strategisnya dari Uni Eropa, termasuk Belanda.

Indonesia menjadi  sasaran untuk dihancurkan/dipecah-belah dan kemudian dikuasai (Divide et impera). Dalam hal ini, negara-negara tersebut dibantu oleh kakitangan dan para agen binaan   mereka di Indonesia, yang sejak turun-temurun selalu berada di pihak Belanda.

Selain menjalankan politik adu-domba yang terbukti ampuh sejak ratusan tahun, mantan penjajah dan antek-anteknya secara TERSTRUKTUR, SISTEMATIS DAN MASSIF, membentuk citra negatif Indonesia di luar negeri. Upaya ini dibantu oleh generasi muda, baik di Indonesia maupun di luar negeri yang BUTA SEJARAH.

Terkait hal ini, menarik menyimak pandangan Batara R Hutagalung, investigator Sejarah Indonesia.  “Pengetahuan generasi muda mengenai HAM, DEMOKRASI,  RASIALIALISME, hanya berdasarkan definisi dari para mantan penjajah, yang merubah Undang-undang mereka dan berusaha menutup-nutupi sejarah kelam mereka.

Di masa penjajahan, negara-nagar yang sekarang menuding Indonesia sebagai pelanggar HAM, rasialis dan diskriminatif, justru merekalah  PELANGGAR HAM dan RASIALIS terbesar dan yang paling biadab.”

Begitulah. Balkanisasi Nusantara Sudah Di Depan Pintu.

Hendrajit