Jakarta, Aktual.com – Pemerintah Joko Widodo (Jokowi) yang telah banyak mengeluarkan paket kebijakan ekonomi sampai jilid ke-13, diklaim Menteri PPN/Bappenas, Bambang Brodjonegoro untuk menggenjot investasi, sehingga bisa menyerap banyak tenaga kerja.
Namun demikian, dia mengakui, kendati paket kebijakan sudah banyak diterbitkan, tapi memang belum bisa menciptakan lapangan kerja yang cukup besar. Karena beberapa sektor masih terjadi perlambatan.
“Kenapa pemerintah harus buat paket kebijakan ekonomi? Karena untuk penciptaan lapangan kerja yang cukup banyak, dan caranya hanya dengan investasi. Sampai saat ini belum terjadi,” tegas Bambang di Jakarta, Selasa (1/11).
Menurutnya, dengan pertumbuhan ekonomi di kuartal II-2016 yang cukup tinggi mencapai 5,18%, tapi beberapa sektor industri yang bertumbuh, seperti industri jasa keuangan, tak mampu menyerap banyak lapangan pekerjaan.
Beberapa sektor yang mampu menyerap banyak tenaga kerja adalah, sektor pertanian, industri pengolahan dan perdagangan. Cuma sayangnya, industri pengolahan masih tertekan dengan kondisi sekarang. Karena kecenderungannya, industri ini banyak menggunakan mesin ketimbang memperkerjakan tenaga kerja.
“Sektor pertanian masih bagus, cuma produktivitasnya relatif rendah dan masalahnya di upah. Kita ingin pekerja dapat upah banyak. sektor perdagangan meski keuntungannya besar, akhir-akhir ini mengecil, sehingga ekspansi untuk serap tenaga kerja rendah,” jelas Bambang.
Menurutnya, untuk mendorong dua juta pekeja per tahun, pemerintah memang harus mendorong investasi. Termasuk investasi dari pemerintah sendiri. Makanya, kata dia, Bappenas pun mendorong pembiayaan infrastruktur yang tak bergantung pada APBN tapi melibatkan swasta yang lebih banyak.
“Kami akui FDI sekarang agak sulit, investasi terakhir tumbuh 12 persen, tapi masih lebih rendah dari saat komoditas booming, capai 20 persen. Jadi pertumbuhan investasi melambat, maka daya serap lapangan kerja melambat ditambah adanya kebijakan capital intensif tadi,” cetus dia.
Bambang menambahkan, kondisi yang ideal adalah ketika periode 1990-an. Ketika harga komoditas booming dan juga pertumbuhan ekonomi tinggi, sehingga penyerapan tenaga kerja tinggi, karena didorong industri manufaktur yang bertumbuh.
“Makanya, kita dorong ke posisi ideal seperti tahun 1990-an. Saat ini pertumbuhan memang capai 5 persen, tapi kontribusi manufaktur hanya sebesar 30 persen, berbeda dengan saat tahun 1990-an yang mencapai 90 persen,” tegas dia.
Apalagi dengan kondisi Indonesia saat ini, biasanya investor yang berani masuk ke Indonesia karena mereka sudah yakin ada market share yang besar. Tapi kalau investor baru, sebut Bambang, itu biasanya ragu-ragu. Karena masalah perizinan, birokrasi dan lainnya terkadang maaih menjadi kendala.
Meski begitu, kata dia, investasi tetap harus digenjot, termasuk investor yang baru-baru.
“Kalau investasi turun, sudah pasti penyerapan lapangan kerja menurun. Kalau tidak bisa seperti 2000-2004, maka akan ada pengurangan tenaga kerja hingga 500 ribu orang,” tutur dia.
Ditambah lagi, kata dia, laju ekspor sudah rendah. Yang dilakukan pemerintah hanya menjaga ekspor agar tidak minus lagi.
Untuk itu, di saat penciptaan lapangan kerja sulit diharapkan, maka konsumsi rumah tangga harus dijaga, artinya perlu juga menjaga laju inflasi.
“Pemerintah akan terus menjaga konsumsi rumah tangga dan sektor-sektor lain agar tak tercipta PHK besar-besaran dan semoga sektor konstruksi bisa tumbuh 5%,” pungkas mantan Menteri Keuangan itu.
(Busthomi)
Artikel ini ditulis oleh:
Arbie Marwan