Sejalan proses PKPU, para kreditur diminta mengajukan pendaftaran tagihan untuk proses verifikasi. Dimana kreditur mengajukan tagihan pokok dengan bunga dan denda yang jumlahnya tembus Rp414 Miliar.
“Tagihan itu sejak tahun 2013 sampi 2021, sudah 8 tahun, dengan kesepakatan bunga 18% pertahun. Jadi disitulah ada bahasa penggelembungan. Padahal, bukan penggelembungan itu faktanya.,” tegasnya.
Proses PKPU juga memiliki tenggat waktu khusus, dimana sampai waktunya, pihak debitur belum pernah mengajukan bukti-bukti untuk menyanggah tagihan RP 414 Miliar tersebut.
“Saya mengibaratkan itu kalau kita naik kereta, kita tidak tepat waktu, ya kita ketinggalan dan kereta itu tetap jalan sesuai waktunya. Simpelnya seperti itu,” kata Nahot.
Bukannya menyanggah, sambung Nahot, pihak debitur malah melayangkan laporan ke pihak kepolisian. Padahal, sambungnya, masih banyak proses atau mekanisme PKPU yang bisa ditempuh.
“Karena semestinya masih banyak proses yang bisa diambil, setidaknya, satu lah proses yang diambil debitur yaitu mengajukan keberatan untuk nanti diputus hakim pengawas apa yang nanti akhirnya sudah ditetapkan oleh pengurus sebagai daftar piutang. Secara administratif, hal itu tidak dilakukan,” ucapnya.
Alhasil, Bareskrim Polri menerbitkan SP3 yang faktanya penyidikan terhadap Ranto, Astro dan Delight sudah dihentikan. Dia juga menyayangkan kasus ini terjadi karena telah merugikan kliennya baik dampak moril dan materil.
“Tinggal klien kami ini yang terdampak karena penetapan tersangka harus dipulihkan nama baiknya. Itu sangat mengganggu, sebab begitu diungkapkan sebagai tersangka banyak dampak yang timbul dari keluarga, lingkungan bahkan klien mereka. Padahal kasus ini bisa diselesaikan dalam porses PKPU dan mekanisme di dalamnya,” tandasnya.
Nahot berharap kejadian ini menjadi pelajaran bagi para kurator untuk tidak takut dalam menghadapi kejadian kriminalisasi seperti ini.
“Kedepannya pihak penegak hukum juga tidak dengan mudahnya menerima laporan atau kalau diterima diharapkan kasus ini sebagai contoh paling tidak ada harapaan para kurator bisa menjalankan tugas sebaik mungkin karena mereka agen pengadilan menjalankan perintah UU sesuai dengan UU kepailitan dan PKPU,” tegasnya.
Begitupun dengan kuasa hukum lainnya, Petrus Bala Pattyona yang menyatakan laporan polisi yang ditujukan pada kliennya merupakan awal dari proses kriminalisasi kurator.
“Laporan ini merupakan awal pintu masuk untuk mengkriminalisasi para pengurus, yang ternyata polisi berlaku cepat bertindak tanpa melihat tugas dan wewenang pengurus atau kurator,” ujarnya dalam kesempatan yang sama.
Petrus membeberkan proses penangkapan kliennya pun berlangsung cepat. Dimana saat proses hukum berjalan, terbukti tidak ada bentuk tindak pidana.
“Bahkan, kami bisa juga membuktikan bukan hanya sebagai pengacara, tapi sebagai kurator bahwa apa yang dilakukan klien saya sebagai pengurus merupakan tugas dan wewenang juga perpanjangan tangan dari pengadilan,” tegasnya.
Dia berharap kedepannya UU tentang kepailitan dan PKPU haru dilakukan banyak revisi. Terutama bagaimana pengurus dan kurator harus mendapat perlindungan hukum karena merupakan bagian dari pengadilan yang tidak ada bedanya dengan juru sita dan panitera.
Artikel ini ditulis oleh:
Wisnu