Direktur Utama Bursa Efek Indonesia (BEI), Tito Sulistio (kedua kiri) didampingi Direktur Penilaian Perusahaan BEI, Samsul Hidayat, Direktur Pengawasan Transaksi dan Kepatuhan BEI, Hamdi Hassyarbaini, serta Direktur Pengembangan BEI, Hosea Nicky Hogan saat memberikan penjelasan pada jumpa pers di Galeri BEI, Jakarta, Kamis (27/8). Bursa Efek Indonesia (BEI) menemukan ada 14.000 transaksi kena batas bawah auto rejection. Enam Anggota Bursa (AB) dicurigai lakukan short selling. Tito mengaku tak habis pikir ada sejumlah perusahaan raksasa yang mengeruk begitu banyak sumber daya alam di Indonesia tapi mencatatkan sahamnya di luar negeri. AKTUAL/EKO S HILMAN

Jakarta, Aktual.com —  Perseroan Terbatas Bursa Efek Indonesia (BEI) mengatakan bahwa belum sinerginya peraturan dalam integrasi pasar modal ASEAN menjadi kendala Indonesia untuk bergabung.

“Dalam hal regulasi paling tidak membutuhkan waktu agar bisa bersinergi, untuk sementara kita masih kaji terlebih dahulu,” ujar Direktur Utama BEI Tito Sulistio di Jakarta, Jumat (11/9)

Menurut dia, untuk bisa terintegrasi dengan Bursa Efek di kawasan ASEAN paling tidak industri pasar modal Indonesia harus siap dan kuat terlebih dahulu. Pasar modal Indonesia juga masih jauh tertinggal jika dibandingkan dengan Singapura dan Thailand.

“Kalau kita sudah siap misalnya terkait dengan kesamaan dalam hal regulasi dan kesetaraan kekuatan, baru saya bicara,” katanya.

Ia mengatakan bahwa industri pasar modal Indonesia masih lebih kecil dibandingkan negara tetangga, hal itu dapat dilihat dari rata-rata nilai transaksi efek harian dan jumlah perusahaan tercatat atau emiten di Bursa Efek Indonesia.

“Transaksi kita masih sekitar 500 juta dolar AS. Sementara Singapura 1 miliar dolar AS, Thailand 1,6 miliar dolar AS. Jumlah perusahaan yang tercatat di BEI juga masih yang terkecil. Jika transaksi sudah sama, perusahaan tercatat bertambah, peraturan sudah sama, mari kita duduk bersama,” paparnya.

Menurut Tito Sulistio, untuk bisa setara dalam hal kekuatan dan regulasi paling tidak perlu waktu setidaknya sekitar tiga tahun. Dalam kurun waktu tiga tahun itu, dirinya yakin nilai transaksi efek dapat meningkat tiga kali lipat dan jumlah emiten yang bertambah.

Sebelumnya, Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal Otoritas Jasa Keuangan, Nurhaida mengemukakan bahwa selain Indonesia, di kawasan ASEAN terdapat enam pasar modal yang berkembang, tiga di antaranya tergabung dalam Exchange Linkage, yakni Singapura, Malaysia, dan Thailand.

Ia mengemukakan bahwa pasar modal Indonesia belum tergabung dalam “Exchange Linkage” karena masih ada beberapa peraturan pasar modal dalam negeri belum sesuai dengan standar.

“Tiga negara yang saya singgung itu sudah menyepakati kesepatan mengenai ‘nation discloser standart’ untuk mekanisme penawaran umum perdana. Jadi mereka sudah ‘linked’,” katanya Menurut Nurhaida, sebenarnya Indonesia sudah memiliki kelebihan dari standar minimum yang disepakati tiga negara itu.

“Contoh, peraturan pasar Indonesia mewajibkan emiten untuk memaparkan penggunaan dana hasil penawaran umum, sementara mereka (exchange linkage) tidak diwajibkan. Jadi, Indonesia sudah melebihi standar terkait ‘discloser’. Yang jadi masalah adalah ketika Indonesia bekerjasama dengan tiga negara yang telah ikut MoU, standar kita yang diturunkan atau mereka yang menaikan standarnya agar sejajar,” ujar Nurhaida.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Eka