Jakarta, Aktual.com — Ustad Rahmat Abdurasyid menerangkan dalam khutbah jumat-nya di Masjid Al-Muhajirin, Depok, Jumat (20/05). Ia menerangkan alangkah baiknya kita sebagai seorang muslim untuk selalu senantiasa belajar meneladani perilaku Rasulullah SAW, makhluk paling agung pengemban risalah suci untuk memperbaiki akhlak manusia. Rasulullah SAW pernah bekata,
إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ اْلأَخْلاَقِ
Artinya, “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia.”
Salah satu poin penting yang bisa kita contoh dari beliau adalah akhlak dalam konteks hubungan sosial. Rasulullah SAW termasuk pribadi dengan keluasan hati yang mengagumkan. Beliau tak hanya orang yang gigih dalam memperjuangan syiar kebenaran Islam tapi juga menunjukkan perangai mulia dalam berdakwah sebagai menifestasi dari klaim kebenaran itu sendiri.
“Ketika kita membaca kembali lembar tarikh (sejarah) peradaban Islam, kita akan menemukan fakta bagaimana Nabi bersikap kepada pasukan musuh begitu momen kemenangan besar Fathul Makkah (pembebasan kota Makkah) diraih. Kejadian itu bermula saat kaum musyrikin Quraisy di Makkah merusak kesepakatan gencatan senjata yang dikenal dengan “Perjanjian Hudaibiyah”, hingga mengundang sepuluh ribu pasukan Muslim dari Madinah untuk menyerbu Makkah.”
“Seluruh kaum musyrikin dilanda ketakutan, terutama pemimpin tertingi mereka, yakni Abu Sufyan. Dengan kekuatan pasukan Muslim yang berkembang demikian pesat, ia sadar betul kekalahan bagi kelompoknya sudah di depan mata. Reputasi dirinya sebagai pemimpin yang sangat disegani pada hari itu runtuh, wibawanya sebagai jawara tanpa tanding pun remuk. Lalu apa yang diperbuat oleh Rasulullah ?”
Rasulullah SAW bukanlah tipe pendendam dan pemarah. Sejarah perlakuan buruk kaum musyrikin Quraisy, termasuk Abu Sufyan, terhadap dirinya dan umat Islam tak membuatnya bertindak secara membabi buta. Di hadapan khalayak waktu itu, Nabi justru berpidato “Barangsiapa masuk ke dalam Masjidil Haram, dia akan dilindungi. Barangsiapa masuk ke dalam rumah Abu Sufyan, dia akan dilindungi.”
“Ungkapan ini membuat banyak orang terperanjat. Nabi seakan paham dengan suasana batin Abu Sufyan, dedengkot pasukan musuh itu. Mendengar pengumuman itu, hati Abu Sufyan yang garang luluh bercampur bahagia. Meski dalam posisi terpojok, ia merasa sangat terhormat dan terlindungi. Tak tanggung-tanggung, Rasulullah seolah menyejajarkan rumahnya dengan Masjidil Haram. Barangkali karena kemuliaan akhlak Nabi inilah Abu Sufyan tak lagi canggung untuk memeluk Islam.”
Dari sini kita belajar, Nabi Muhammad SAW tak hanya pandai bertutur tentang pentingnya berbuat bijak kepada sesama, tetapi beliau konsisten dengan memberikan teladan langsung dalam wujud perilaku. Penghormatan Nabi di sini tak sebatas kepada orang atau kelompok yang berbeda pandangan dengan dirinya, tapi bahkan kepada orang atau kelompok yang sedang memusuhinya. Maka benarlah ungkapan sebuah hadis sohih,
أَحَبُّ الدِّينِ إلى الله الْحَنِيفِيَّةُ السَّمْحَةُ
Artinya, “Agama yang paling dicintai oleh Allah adalah al-hanafiyah as-samhah (yang lurus lagi toleran).”
Rasulullah SAW juga memberi isyarat bahwa tak ada hubungan keimanan seseorang dengan perasaan benci. Sehingga, kita pun menjadi heran saat menyaksikan banyak orang-orang yang merasa iman meningkat tapi kebenciannya terhadap orang yang tak seiman dengan dirinya pun ikut meningkat. Sikap semacam ini kontradiktif dengan dengan sabda Nabi sebagaimana tertulis dalam kitab Riyadhus Shalihin,
أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا
Artinya, “Mukmin yang paling sempurna adalah mereka yang paling indah akhlaknya”
Dalam Hadis riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim pernah dikisahkan, suatu kali Rasulullah SAW berdiri (memberi hormat) ketika sebuah iring-iringan jenazah yang lewat di hadapannya.
مَرَّتْ بِهِ جَنَازَةٌ فَقَامَ فَقِيْلَ لَهُ إِنَّهَا جَنَازَةُ يَهُوْدِي فَقَالَ أَلَيْسَتْ نَفْسًا؟
Artinya, “Salah seorang sahabat beliau mengingatkan bahwa jenazah itu adalah jenazah orang Yahudi, yang tak layak mendapat penghormatan. Beliau lansung menjawab, ‘Bukankah ia juga manusia ?’.”
Perilaku Rasulullah SAW tersebut menyiratkan pesan bahwa keteguhan iman seseorang ditandai bukan dengan sikap angkuhnya terhadap orang yang berbeda. Justru sebaliknya, kuatnya keyakinan itu justru memantulkan sikap-sikap tawadhu, rasa hormat, tasamuh (toleran) dan terbuka terhadap yang lain.
Artikel ini ditulis oleh:
Eka