Warga membeli sembako menggunakan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) saat peluncuran Bantuan Pangan Non Tunai di Blunyahrejo, Karangwaru, DI Yogyakarta, Kamis (23/2). Program Bantuan Pangan non Tunai merupakan kelanjutan Program keluarga Harapan (PKH) dilaksanakan secara serentak di 44 kota yang terdiri dari 7 kota di Sumatera, 34 kota di Jawa den 3 kota di wilayah timur untuk memberikan kemudahan kepada masyarakat miskin berbelanja kebutuhan sehari-hari di e-warung. ANTARA FOTO/Hendra Nurdiyansyah/foc/17.

Jakarta, Aktual.com – Ekonom muda Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Rusli Abdullah melihat postur APBN 2018 sangat rentan tersandera oleh belanja sosial.

Hal itu karena belanja APBN 2018 mengandung unsur political budget cycle (siklus politik anggaran) yang tinggi. Artinya, menjelang pemilu, belanja sosial akan meningkat dibandingkan tahun non pemilu atau menjelang pemilu (tahun politik).

“Hal itu pun terlihat dari siklus politik anggaran APBN seperti yang terjadi pada APBN 2009 dan 2014. Namun di APBN 2018 lebih tinggi lagi mencapai Rp 223,7 triliun,” kata Rusli kepada Aktual.com, di Jakarta, Jumat (27/10).

Pada tahun 2018, kata dia, sasaran bantuan sosial untuk PKH juga akan ditingkatkan dari 6 juta rumah tangga sasaran (RTS) menjadi 10 juta RTS. Dengan adanya peningkatan penerima PKH tersebut, alokasi belanja bantuan sosial diperkirakan akan meningkat proporsinya terhadap PDB jika dibandingkan dengan periode sebelumnya.

“Ada peningkatan jumlah RTS (Rumah Tangga Sasaran) PKH, maka aloksai untuk belanja sosial meningkat pesat. Dalam APBN 2018 dialokasikan Rp 223,7 triliun (untuk subsidi, PKH, Kartu Indonesia Pintar, JKN bagi Warga Miskina/PBI, dan bantuan pangan, dan bidik misi),” jelas dia.

Dia membandingkan dengan kejadian di era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Pada APBN 2009, terjadi lonjakan belanja bantuan sosial dari Rp57.7 triliun di 2008 menjadi Rp73.6 triliun atau naik 11,74% dari belanja Pemerintah.

Sementara di APBN 2014, anggaran bantuan sosial meningkat dari Rp92.1 triliun di 2013 menjadi Rp96.6 triliun di tahun 2014.

“Jadi, hal itu rentan tersandera dari sisi belanja subsidi. Karena ada kebijakan populis yang harus dijaga Pemerintah di tahun politik,” kata Rusli.

Apalagi, kata dia, terjadi ancaman kenaikan harga minyak bisa terjadi di 2018, dan dampaknya harga BBM dalam negeri pasti naik.

“Sehingga, opsi Pemerintah ada dua, menaikan harga BBM atau tetap menahannya dengan menambah subsidi. Di tahun politik, menaikan harga BBM adalah keputusan yang akan sulit dilakukan oleh Pemerintah,” tandas dia.

(Busthomi)

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Arbie Marwan