Jakarta, Aktual.com — Perusahaan pengembang rumah susun (rusun) Green Pramuka City (GPC), Rawasari, Jakarta Pusat, PT Duta Paramindo Sejahtera diduga melakukan pelecehan terhadap lembaga perwakilan rakyat. Hal itu dialamai Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid (HNW), Sabtu (14/5) lalu.

Dalam keterangan tertulisnya, Senin (16/5), Ketua Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun (PPPSRS) GPC, Widodo Iswantoro, mengungkapkan, awalnya HNW bermaksud menemui warga yang sudah bertahun-tahun didzalimi pihak perusahaan pengembang rusun.

HNW kemudian mengadakan pertemuan dengan warga untuk mendengar pengaduan berikut bukti-bukti dugaan tindak kesewenang-wenangan pengembang rusun. Dari pertemuan itu, warga meminta kesediaan HNW untuk membantu dan HNW menyatakan dukungannya dengan membubuhkan tandatangan pada surat terbuka yang ditujukan kepada PT DPS.

“Pak Hidayat langsung menandatangani surat terbuka yang ditujukan kepada PT DPS, tetapi surat itu seperti tidak mau mereka terima, sebab saat mau diserahkan, warga malah dihadang oleh puluhan satpam perusahaan,” katanya.

Surat Hidayat yang ditujukan kepada pimpinan perusahaan milik taipan bernama Suryatin Njotohardjo itu pun gagal diserahkan, sebab pihak perusahaan menghalangi warga yang ingin menyerahkan surat.

Kuasa Hukum Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun (PPPSRS) GPC Benyamin Purba menyesalkan sikap perusahaan pengembang rusun. Ia mengungkapkan bahwa warga yang sudah beberapa tahun melunasi pembelian satuan rumah susun tak kunjung diberikan bukti kepemilikan berupa Sertifikat Hak Milik (SHM) oleh PT DPS.

Perusahaan hanya membuatkan Perjanjian Pengikatan Jual-Beli (PPJB) dan itupun tidak dilakukan dihadapan notaris sebagaimana diwajibkan oleh Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun (UU Rusun).

“Warga tiap bulan pokoknya disuruh bayar tagihan listrik dan air, tapi mereka tidak mau memberikan rincian listrik dan air yang sebetulnya digunakan warga. Kalau warga menolak aturan mereka, listrik dan air langsung diputus,” kata Benyamin.

“Soal PBB lebih aneh lagi, warga tiba-tiba ditagih PBB sampai lebih dari tiga juta rupiah, termasuk PBB 2016, yang berdasarkan Pergub DKI Nomor 259 tahun 2015 seharusnya gratis,” sambungnya.

Artikel ini ditulis oleh: