Jakarta, Aktual.com — Pengurus Konsil Kedokteran Indonesia melaporkan kepada Wakil Presiden Jusuf Kalla mengenai Undang-Undang 36/2014 tentang Tenaga Kesehatan.

Ketua KKI Bambang Supriyatno mengatakan pihaknya menyampaikan kepada Wapres terkait perbedaan pandangan terhadap UU Tenaga Kesehatan tersebut.

“Dengan adanya UU Tenaga Kesehatan yang baru itu, kami menganggap akan berpotensi terjadi kekacauan dalam pengaturan tenaga medis di Indonesia, karena nantinya setiap tenaga medis akan memiliki konsil sendiri-sendiri dan tidak terintegrasi,” kata Bambang usai bertemu Wapres di Kantor Wakil Presiden, di Jakarta, Selasa (8/9).

Dia menjelaskan perbedaan prinsipil dalam UU tersebut salah satunya dengan ketentuan pembentukan Konsil Tenaga Kedokteran Indonesia (KTKI) yang akan menghapus keberadaan KKI.

Sesungguhnya, sambung dia, di dalam KKI sudah terbentuk Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) yang bersifat independen dalam mengawasi kedisiplinan para dokter di tanah air.

“Namun dalam UU itu disebutkan bahwa keputusan MKDKI itu terdapat intervensi dari Pemerintah, dalam hal ini Menteri Kesehatan. Artinya akan ada potensi intervensi menteri yang sifatnya subjektif dalam menilai kedisiplinan dokter tersebut,” ujar dokter spesialis anak tersebut.

Oleh karena itu, fungsi KTKI dinilai sangat berbeda dengan KKI saat ini. KKI berfungsi sebagai regulator dalam mengatur seluruh tenaga medis di Indonesia, sementara KTKI hanya bertugas mengoordinasikan para tenaga kesehatan.

“KKI itu regulator, sedangkan KTKI itu koordinator. Dalam UU Nomor 29 Tahun 2004 yang bertugas sebagai regulator itu adalah KKI, sedangkan konsil maupun konsil kedokteran gigi tidak bersifat regulator. Sedangkan dalam UU Nakes, regulatornya adalah masing-masing konsil,” jelasnya.

Dia mencontohkan jika masing-masing tenaga medis memiliki konsil, seperti konsil keperawatan, konsil kebidanan dan konsil pengobatan alternatif, maka hal itu dapat berpotensi menyebabkan kekacauan dalam mengawasi pelayanan kesehatan di masyarakat.

“Kalau misalnya ada pasien penderita kanker, kemudian perawat mengizinkan tindakan kemoterapi terhadap pasien itu karena merasa memiliki kewenangan yang diatur dalam konsilnya, maka tindakan pengobatan itu tidak akan terpantau oleh kami (dokter), bisa ‘chaos’.”

Artikel ini ditulis oleh: