Jakarta, Aktual.com — Budayawan Jaya Suprana bertemu dengan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo di Kantor Pusat Kementerian Dalam Negeri untuk membahas kondisi ekonomi Indonesia dan pemungutan suara pemilu secara elektronik (e-voting).

Jaya mengatakan Pemerintah Indonesia sudah cukup bijak dalam manajemen utang, namun dia juga berpendapat bahwa pemerintah perlu memperhatikan utang dari perusahaan-perusahaan swasta.

Jika hal tersebut tidak segera ditangani, katanya, permasalahan ekonomi nantinya akan meletus ke politik dan bisa menjadi alasan untuk terjadinya perebutan kekuasaan.

“Penyakit ekonomi jangan diambil enteng karena dampaknya ke politik. Kita semua tahu bagaimana dengan Presiden Suharto. Saya tidak pernah mimpi Presiden Suharto bisa dilengserkan,” kata Jaya di Jakarta, ditulis Rabu (15/7).

Pendiri Museum Rekor-Dunia Indonesia (MURI) tersebut kemudian merekomendasikan Mendagri untuk mempengaruhi seluruh daerah agar bersatu mengatasi masalah ekonomi.

Tjahjo Kumolo menanggapi hal tersebut dengan mengungkapkan bahwa yang menekan pemerintah, terutama dalam masalah pengaturan harga, adalah justru muncul dari beberapa Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

“Yang merusak komoditi justru BUMN, ada satu dua yang bermainnya luar biasa,” ucapnya tanpa penjelasan secara terperinci mengenai BUMN yang disebutnya itu.

Tjahjo kemudian menyerukan, terutama kepada Kementerian Perdagangan, untuk bersatu melawan praktik semacam itu dan mengatakan bahwa tidak boleh ada “negara di dalam negara”.

Selain membahas mengenai permasalahan ekonomi, Jaya Suprana juga membahas mengenai Kartu Tanda Penduduk elektronik (e-KTP) dan e-voting. Dia menawarkan keterlibatan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dalam implementasi dua hal tersebut.

Tawaran tersebut muncul karena kegelisahan Jaya Suprana terhadap pemerintah yang ingin mengembangkan dan menerapkan proses e-voting dari India.

Dia beranggapan bahwa pengalaman India seharusnya menjadi “benchmark’ untuk BPPT. Keterlibatan badan tersebut juga dapat digunakan untuk menekan harga.

“BPPT tidak main-main, mereka juga punya kewajiban menjaga reputasi,” kata Jaya.

Tjahjo menampung pendapat tersebut dan menanggapinya dengan mengatakan bahwa India memiliki pengalaman penyelenggaraan e-voting bagi 800 juta pemilih dengan kesalahan (error) tidak sampai 2 persen.

“India murah, dan memang belum ada penawaran dari dalam negeri. Jangan sampai e-voting membuka hal untuk manipulasi,” kata Tjahjo.

Selain itu, dia juga mengatakan bahwa pada pilkada serentak periode II tahun 2018 akan memulai e-voting dengan data e-KTP yang sudah ada.

Sampai saat ini terdapat 172 juta pengguna e-KTP yang terdata. Evaluasi yang dilakukan sejak Desember 2014 mengungkapkan bahwa dalam 1 bulan Kemendagri menemukan ada 1 juta identitas ganda terkait e-KTP.

Tjahjo mengatakan bahwa target pertama pihaknya pada tahun ini adalah mengurusi akta kelahiran, di mana pada saat ini hanya 40 persen penduduk Indonesia yang memilikinya.

“Semua orang harus punya, sampai 2016 harus sudah selesai,” katanya.

Artikel ini ditulis oleh: