Jakarta, Aktual.com — Keinginan pemerintah untuk memiliki suku bunga rendah agar sektor riil bangkit mulai kelihatan. Bulan lalu di tahun ini. Bank Indonesia (BI) memang menurunkan BI Rate dari 7,5 persen menjadi 7,25 persen.

Namun, menurut pengamat ekonomi Yanuar Rizki, langkah BI itu dianggap telat. Karena dalam jangka waktu yang panjang BI justru mempertahankan BI Rate tinggi sehingga sektor riil tidak tumbuh pesat. Kondisi ini terjadi karena Bi rate sendiri selama ini tidak bisa keluar dari sandera eksternal yang sangat volatile.

“BI Rate selama ini sangat tersandera eksternalitas. Karena hubungan nilai tukar jadinya negatif. Sehingga BI Rate relatif tinggi,” ujar dia dalam diskusi CORE Indonesia, di Jakarta, Senin (1/2).

Menurut dia, dengan kondisi demikian, BI Rate susah untuk rendah sepanjang volatilitas pasar keuangan sangat ditentuksn eksternalitas yang memicu fluktuasi inflasi. Selain itu juga menimbulkan adanya godaan wealth management melalui ekses likuiditas di pasar keuangan.

Selama ini, kata dia, BI selalu beralasan dengan kebijakan BI rate tinggi untuk mengendalikan nilai tukar mata uang juga pengendalian inflasi. “Tapi sayangnya dengan BI Rate tinggi justru nilai tukar tetap tinggi. Dan inflasi sangat rendah sekali jika ada gejolak di ekseternal,” imbuah Yanuar.

“Kenapa tidak seperti di negara lain yang suku bunga juga rendah? Padahal dengan BI Rate tinggi, cost capital juga tinggi. Sehingga ini menjadi persoalan,” terangnya.

Kata dia, dengan BI Rate tinggi membuat uang beredar untuk pindah dari perbankan ke sektor riil juga kecil. Sehingga sektir riil tidak tumbuh berkelanjutan. Apalagi selama ini sektor riil sedang bermasalah. Jangan kan untuk menyerap dari dunia perbankan melalui pinjaman, untuk menyerap KUR (Kredit Usaha Rakyat) saja yang suku bunga kecil agak sulit.

“Tahun lalu hanya 76 persen KUR yang terserap sektor riil. Itu jadi masalah,” jelas dia.

BI sendiri memang di awal tahun ini sudah merespon keinginan pemerintah dengan menurunkan BI Rate medio Januari lalu. Bahkan di Februari ini, Gubernur BI Agus Martowardojo memberi sinyal akan kembali melakukan pelonggaran likuiditas bisa melalui penurunan BI Rate atau melalui Giro Wajib Minimum (GWM) yang kemungkinan berpotensi diturunkan.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Eka