Jakarta, Aktual.com – Mulai 1 Juli 2017 ini, Bank Indonesia (BI) resmi menerapkan sistem Giro Wajib Minimum (GWM) Averaging (rata-rata), yang sebelumnya menggunakan sistem GWM Fix (tetap).

Kebijakan moneter ini dianggap akan semakin membuat likuiditas perbankan melonggar, sehingga bank akan kian banyak mengucurkan dananya untuk perekonomian nasional.

Menurut Deputi Gubernur Senior BI, Mirza Adityaswara, sistem GWM fix ini sudah ditinggalkan oleh banyak negara. Mereka beralih ke GWM averaging seperti Indonesia. Jika fix, maka perbankan harus menyimpan dananya setiap hari 6,5 persen dari Dana Pihak Ketiga (DPK).

“Tapi kalau GWM averaging, secara rata-rata itu 6,5 persen. Tapi BI membagi 5 persennya masih sistem fix, dan 1,5 persen sistem averaging. Pokoknya kalau dirata-rata, dalam dua minggu itu 1,5 persen (dari DPK yang disimpan di BI),” jelas Mirza dalam seminar ‘GWM Averaging, Dampaknya terhadap Stabilitas Moneter dan Pertumbuhan Ekonomi’, di Jakarta, ditulis Selasa (4/7).

Bagi BI, kata Mirza, kebijakan ini akan membuat likuiditas industri perbankan membaik. Karena bank memiliki keleluasaan untuk mengatur DPK-nya.

“Soalnya, bank tak setiap hari menyimpan 6,5 persen (dari DPK di BI). Dalam hari tertentu dia bisa maintance 5,75 (persen), sisanya kemana? Bisa dipinjamkan ke bank kecil yang butuh likuiditas, jadi harapannya likuiditas itu bisa masuk ke pasar,” jelas dia.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Eka