Jakarta, Aktual.com – Kepala Badan Restorasi Gambut (BRG) Nazir Foead menyebutkan perkiraan dana yang diperlukan untuk mengembalikan keadaan lahan gambut dari kerusakan adalah sekitar 500 hingga 3.000 dolar AS setiap hektarenya.

“Saya sebenarnya belum berani bilang, tapi memang ada perhitungan antara 500 hingga 3.000 dolar AS untuk setiap hektarenya,” kata kata Nazir, di sela Rapat Koordinasi Restorasi Gambut dan Pencegahan Kebakaran Hutan dan Lahan di kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Jakarta, Senin.

Perhitungan biaya merestorasi dengan nilai 500 dolar AS per ha, kata Nazir, berasal dari lembaga Bank Dunia (World Bank). Sedangkan untuk senilai 3.000 dolar AS, berasal dari lembaga Center for International Forestry Research (CIFOR).

Sedangkan untuk perhitungan dari pemerintah Indonesia sendiri, dia belum berani menyebutkannya, namun dia memprediksi berada di antara nilai keduanya.

“Kalau pemerintah sendiri saat ini sedang menghitungnya, untuk kegiatan fisik, sosial, pengembangan kapasitas masyarakat yang harus terlibat dan koordinasi dengan pemerintah serta perusahaan,” katanya.

Dia juga mengatakan hitungan tersebut akan dihitung secara cepat dan dimasukkan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2017.

“Tapi kita harus hitung juga untuk lima tahun ke depan,” ujarnya pula.

Saat ditanya kedua nilai hitungan tersebut, bisa dipergunakan untuk proyek restorasi berdurasi berapa lama, Nazir menyebut itu untuk lima tahun.

“Karena idealnya, selepas lima tahun, lahan sudah bisa menghidupi kegiatannya sendiri dengan menjual hasil panennya terkecuali lahan konservasi yang harus tetap disuntik dari APBN,” kata dia.

Nazir juga menyebutkan untuk lahan gambut yang telah menjadi lahan budidaya tanaman produksi perkebunan, diharapkan memilih varietas yang sesuai dengan lahan gambut yang harus basah, bahkan di lahan kubah gambut tidak boleh ada tanaman selain varietas gambut.

“Idealnya lahan gambut adalah lahan basah jadi tanaman di sana juga harus sesuai, misalnya sagu atau ada juga sawit raksasa yang bisa bertahan di lahan gambut tanpa harus merusaknya dengan mengeringkan. Namun untuk kubah gambut tidak boleh ditanami, makanya untuk yang sudah terlanjur nanti kita minta pindah lokasi kegiatannya,” ujar Nazir lagi.

Akibat kerusakan lahan gambut diprediksi sebagai penyebab utama dahsyat kebakaran hutan dan lahan serta menyebabkan bencana asap.

World Bank melakukan analisis dan kalkulasi perkiraan kerugian kebakaran hutan dan lahan Indonesia pada 2015.

Pada tahun 2015 tersebut Indonesia mengalami bencana kebakaran hutan dan lahan (karhutla) serempak pada delapan provinsi, sehingga mengakibatkan kerugian multisektor.

“Kerugian bagi masyarakat Indonesia diperkirakan sekitar 16,1 miliar dolar AS atau setara dengan Rp221 triliun,” kata Lead Environment Specialist World Bank Ann Jeanette Glauber dalam Media Round Table, “Kerugian Akibat Kebakaran Hutan”, di Jakarta, Kamis (25/2) lalu.

Artikel ini ditulis oleh:

Antara