Sejumlah pekerja mitra produksi sigaret (MPS) PT HM Sampoerna melinting rokok dengan peralatan tradisional di Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur, Kamis (29/10). Rencana pemerintah yang akan menaikkan cukai sebesar 23 persen dalam Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (RAPBN) 2016 memicu reaksi penolakan dari produsen rokok dan juga para pekerja. ANTARA FOTO/Aguk Sudarmojo/kye/15.

Jakarta, Aktual.com — Isu tentang penaikan harga rokok menjadi Rp50 ribu rupiah per bungkus yang akan diberlakukan oleh pemerintah menjadi perbincangan banyak kalangan. Apalagi, rokok saat ini sudah menjadi kebutuhan mendasar bagi sebagian kalangan.

Jika Anda seorang perokok aktif sejak SMP wajar jika merasa kesal dengan kebijakan tersebut. Apalagi, dulu Anda bisa dengan mudah menyisihkan uang jajannya untuk membeli rokok. Jika pemerintah benar menaikan harga rokok, tentu Anda merasa kesulitan untuk mengatur uang saku.

Penaikan Harga Rokok Tak Tepat

Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah perokok aktif terbanyak. Tak dapat dipungkiri bahwa murahnya harga rokok memudahkan masyarakat untuk membeli rokok termasuk pelajar, mahasiswa dan masyarakat menengah kebawah.

Peringatan bahaya merokok melalui iklan, gambar dan tulisan yang terdapat di bungkus rokok tidak berdampak signifikan terhadap penurunan jumlah perokok di Indonesia. Dengan alih-alih untuk menekan jumlah perokok dilakukan pemerintah dengan menaikkan harga rokok.

Akan tetapi, jika Anda sebagai perokok aktif, tentunya Anda merasa bingung dengan naiknya harga rokok. Jika pemerintah benar hanya ingin mengurangi jumlah perkok, seharunya hal tersebut dikaji terlebih dulu semisal harus melakukan survei terhadap jumlah perokok. Wacana pemerintah itu pun dinilai kurang tepat.

Pemerintah disarankan melakukan studi lebih lanjut sebelum menerapkan kebijakan menaikkan harga rokok menjadi Rp50 ribu. “Saya sarankan pemerintah untuk melakukan studi yang serius melalui riset-riset yang bertanggung jawab secara akademis. Katakanlah melakukan survei secara luas di tengah masyarakat terkait rencana kebijakan itu,” kata Anggota Komisi IX DPR RI, Saleh Partaonan Daulay.

Misalnya dalam survei tersebut ditanyakan apakah masyarakat akan berhenti merokok jika harga dinaikkan menjadi Rp50 ribu? Jika jawabannya tidak, maka menurut Saleh kebijakan ini tentunya tidak tepat. Apalagi ditujukan untuk menaikkan cukai semata.

“Bisa juga ditanyakan apakah dengan kebijakan kenaikan harga rokok mereka akan menggunakan uang keluarganya untuk beli rokok? Kalau dia mengatakan akan menggunakan justru berbahaya. Coba bayangkan kalau kenaikannya mencapai Rp50 ribu dalam sehari dikonsumsi sebungkus dikalikan 30 bungkus per bulan berati dia menghabiskan uang Rp1,5 juta.”

Di Indonesia, lanjut dia, masih banyak daerah dengan upah minimum regional (UMR) di bawah Rp1,5 juta. Sehingga harus dipikirkan dampak sosial dan ekonominya kepada masyarakat. “Ini kan dampak-dampak sosial harus dikaji komprehensif, lintas sektoral tanpa ada kepentingan apapun di dalamnya. Pada intinya ketika diterapkan maka bisa mensejahterakan masyarakat minimal di bidang kualitas kesehatan.”

Namun demikian, jika Anda merasa ingin berhenti merokok mungkin ini momentum bagi Anda untuk berhenti merokok. Berhenti merokok juga memungkinkan Anda untuk menabung uang yang selama ini Anda alokasikan untuk membeli rokok.

Bagi pelajar atau mahasiwa, uang tersebut dapat digunakan untuk membeli keperluan sekolah atau keperluan makan sehari-hari. Bagi yang sudah berumah tangga, uang tersebut dapat dipakai untuk membeli kebutuhan rumah tangga.

Jika selama ini Anda mengalokasikan uang 20 ribu rupiah setiap hari untuk membeli rokok, maka setiap bulan Anda menghabiskan 600 ribu rupiah untuk membeli rokok! Jika uang tersebut ditabung, dalam satu tahun Anda dapat memperoleh 7.2 juta rupiah. Siapa tahu, tahun depan Anda dapat berlibur dengan uang tersebut.

 

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Wisnu