Pekanbaru, Aktual.com – Prospek bisnis jasa pengangkutan limbah medis infektius atau transporter saat pandemi COVID-19 sangat menjanjikan di Provinsi Riau, karena limbah yang tergolong bahan berbahaya dan beracun atau B3 medis itu volumenya cenderung meningkat hingga 40 persen dari biasanya.

“Secara prospek bagus, meski risikonya juga tambah tinggi,” kata Direktur PT Ibra Harisindo Berjaya (IHB), Al Haris Daniel, kepada ANTARA di Pekanbaru, Selasa.

Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) jumlah limbah medis karena pandemi COVID-19 meningkat sekitar 30 persen, sedangkan kapasitas pengolahan limbah B3 medis di beberapa daerah terutama di luar Jawa masih terbatas.

Haris mengatakan di Riau belum ada alat inseminator yang mumpuni untuk memusnahkan limbah infektius COVID-19, sehingga rumah sakit rujukan penyakit mematikan itu menggunakan jasa transporter untuk pengangkutan ke lokasi pemusnahan limbah B3 di Jawa.

PT IHB adalah satu-satunya perusahaan transporter lokal di Pekanbaru yang bisa bertahan, meski bersaing dengan perusahaan-perusahaan “pemain lama” dari Batam dan Jakarta yang melakukan ekspansi ke Riau. “Bisnis ini bisa lebih berkembang, terutama untuk perusahaan daerah, kalau didukung dengan regulasi,” ujarnya.

Menurut dia, dari kondisi di lapangan terjadi peningkatan volume limbah infeksius berkisar 30-40 persen akibat wabah COVID-19. Namun, tidak serta-merta berimbas pada keuntungan perusahaan karena biaya operasional transporter juga bertambah. Sebabnya, perusahaan harus meningkatkan standar keamanan sesuai protokol kesehatan agar aman bagi pegawai dan aman dalam proses pengangkutan.

Biaya operasional yang bertambah berasal dari pembelian alat pelindung diri (APD), dan bahan baku untuk mengemas limbah B3 medis tersebut yang lebih ketat dari biasanya. Limbah infeksius harus dikemas berlapis-lapis dan ditiap lapisan disemprotkan cairan disinfektan sebelum diangkut ke mobil.

“Saat ini biaya operasional untuk APD naik 40 persen. Kami tak mau berisiko, sepatu yang biasa cukup cuci disinfektan tak bisa lagi sekarang. Helm dan sarung tangan juga sekali pakai kalau kita tangani limbah COVID-19,” katanya.

Karena wabah yang datang tiba-tiba, lanjutnya, naiknya biaya operasional belum sempat dimasukan ke dalam kontrak dengan rumah sakit. Kalau dinaikan sepihak, pengusaha siap-siap untuk diperiksa aparat penegak hukum. Selain itu, masih ada rumah sakit pemerintah lambat melakukan pembayaran.

“Kadang kita sudah ambil (limbah), empat bulan kemudian baru bayar. Sedangkan kita ke pemusnahan sudah deposit bisa Rp200 juta sampai Rp300 juta depositnya,” kata Haris.(Antara)