Jakarta, Aktual.com — Dalam meraih Kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1945 silam, tak sedikit orang yang terlibat di dalamnya. Salah satunya yaitu Burhanuddin Mohammad Diah- yang akrab dikenal dengan BM Diah.
BM Diah lahir di Kutaraja, yang kini dikenal sebagai Banda Aceh, 7 April 1917 namanya dikenal sebagai seorang tokoh pers, pejuang kemerdekaan, diplomat, dan pengusaha Indonesia.
Jasa-jasanya di bidang pers banyak sekali pemikiran-pemikirannya yang bermanfaat untuk kemajuan bangsa dan negara ini. Melalui alat penyiarannya, Hariah Merdeka yang lahir pada 1 Oktober 1945, surat kabarnya banyak berjasa menyiarkan berita-berita sekitar perjuangangan bangsa dan negara, khususnya berita sekitar Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia.
Dari beliaulah lahir berbagai goresan-goresan sejarah kemerdekaan. karena, selain sangat dekat dengan pendiri Republik Indonesia ini, Soekarno, ia merupakan wartawan yang ikut terlibat dalam merumuskan naskah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia di rumah Maeda yang kini berubah menjadi Museum Perumusan Naskah Proklamasi.
BM Diah adalah bungsu dari delapan bersaudara, dari pasangan Burhanuddin dan Siti Sa’idah. Burhanuddin yakni, sosok yang terpandang di Aceh pada jamannya karena ia merupakan saudagar yang kaya raya. Meski demikian, kehidupan mapan keluarga tersebut tidak sempat dinikmati Diah karena saat Diah baru berusia seminggu, ia sudah ditinggal mati ayahnya.
Di samping itu, di akhir hidupnya, sang ayah pun hidup boros sehingga tidak meninggalkan harta yang banyak bagi anak-anaknya. Kekayaan yang sempat dinikmati keluarganya pun hanya tinggal cerita bagi Diah.
Ibunya yang tinggal sendirian membesarkan BM Diah dan saudara-saudaranya, memilih berjualan emas, intan, dan pakaian untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Namun kebersamaan Diah dengan ibunya pun hanya sementara, karena delapan tahun sepeninggal ayahnya, ibu Siti Sa’idah juga meninggal. Diah kecil pun kemudian diasuh kakak perempuannya, Siti Hafsyah.
Meski BM Diah telah ditinggal oleh kedua orang tuanya, namun Diah tetap serius untuk meneruskan sekolahnya, ia pun bersekolah di HIS ( Hollandsch-Inlandsche School). Namun karena ia tidak mau belajar di bawah asuhan guru-guru Belanda, ia kemudian melanjut ke Taman Siswa di Medan, Sumatera Utara. Saat Diah sudah berusia 17 tahun, ia meninggalkan Medan menuju Jakarta.
Di Jakarta, ia belajar di Ksatrian Institut (sekarang Sekolah Ksatrian, red) yang dipimpin oleh Dr. EE Douwes Dekker. Di sekolah inilah, ia memilih jurusan jurnalistik dan banyak belajar tentang dunia ke wartawanan dari pribadi Douwes Dekker sehingga kelak membentuknya menjadi wartawan handal.
Saat bersekolah di Ksatrian Institut, Diah sesungguhnya tidak mampu membayar biaya sekolah. Namun, karena semangat dan tekadnya yang keras untuk belajar, Douwes Dekker mengizinkannya terus belajar. Bahkan, ia pun dipercaya menjadi sekretaris di sekolah tersebut.
Setelah tamat belajar dan memiliki pengetahuan di bidang jurnalistik, Diah kembali ke Medan dan bekerja sebagai Redaktur harian Sinar Deli. Namun di sana ia hanya bekerja selama satu setengah tahun. Setelah itu, ia sering berpindah-pindah.
Pertama, dari Medan ia kembali ke Jakarta dan bekerja di harian Sin Po sebagai tenaga honorer. Kemudian pindah ke Warta Harian. Karena koran tersebut dibubarkan karena alasan membahayakan keamanan, Diah pun lantas mendirikan usahanya sendiri bernama Pertjatoeran Doenia yang terbit bulanan.
Ketika bekerja di Radio Hosokyoku itulah Burhanuddin bertemu dengan Herawati, seorang penyiar lulusan jurnalistik dan sosiologi di Amerika Serikat. Mereka berpacaran, dan tak lama kemudian, pada 18 Agustus 1942 mereka menikah. Pesta pernikahan mereka ini dihadiri pula oleh Bung Karno dan Bung Hatta.
Pada akhir September 1945, setelah diumumkannya Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, Diah bersama sejumlah rekannya seperti Joesoef Isak dan Rosihan Anwar, mengangkat senjata dan berusaha merebut percetakan Jepang “Djawa Shimbun”, yang menerbitkan Harian Asia Raja.
Meskipun Jepang telah menyerah kalah, teman-teman Diah ragu-ragu, mengingat Jepang masih memegang senjata. Namun kenyataannya malah sebaliknya. Tentara Jepang yang menjaga percetakan tidak melawan, bahkan menyerah. Percetakan pun jatuh ke tangan Diah dan rekan-rekannya.
Pada 1 Oktober 1945 B.M. Diah mendirikan Harian Merdeka. Diah menjadi pemimpin redaksi, Joesoef Isak menjadi wakilnya, dan Rosihan Anwar menjadi redaktur. Diah memimpin surat kabar ini hingga akhir hayatnya, meskipun belakangan ia lebih banyak menangani PT Masa Merdeka, penerbit Harian “Merdeka”.
Ketika baru berdiri Diah menjadi Pemimpin Redaksi, Isak sebagai Wakil, dan Rosihan sebagai Redaktur. Belakangan Joesoef Isak, seorang Soekarnois, terpaksa diberhentikan atas desakan pemerintah Orde Baru. Sementara Rosihan Anwar mendirikan surat kabarnya sendiri, Harian “Pedoman”.
Pada April 1945, bersama istrinya Herawati, Diah mendirikan koran berbahasa Inggris, Indonesian Observer. Ia dinilai sebagai penulis editorial yang baik, seorang nasional pro-Soekarno dan menentang militerisme. Ia pernah bertolak pandangan dengan pihak militer setelah Peristiwa 17 Oktober, sehingga ia terpaksa berpindah-pindah tempat untuk menghindari kejaran petugas-petugas militer.
Ketika pemerintah Orde Baru memutuskan untuk mengubah sebutan “Tionghoa” menjadi “Cina” dan “Republik Rakyat Tiongkok” menjadi “Republik Rakyat Cina”, Harian “Merdeka” — bersama Harian “Indonesia Raya” — dikenal sebagai satu-satunya pers yang gigih tetap mempertahankan istilah “Tionghoa” dan “Tiongkok”.
Selain menjadi wartawan, BM Diah pernah menjabat sebagai seorang birokrat. Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1959, BM Diah diangkat menjadi Duta Besar RI untuk Cekoslowakia, Hongaria, dan untuk Kerajaan Inggris Raya, 1962. Kemudian pada Era
Orde Baru, ia diangkat menjadi Menteri Penerangan pada Kabinet Ampera, tahun 1966 oleh Presiden Soeharto. Dalam perjalanan berikutnya, ia juga pernah menjadi anggota DPR dan DPA.
Di luar pemerintahan, ia pernah menjabat sebagai Ketua PWI pada tahun 1971, kemudian menjadi Presiden Direktur PT Masa Merdeka, dan Wakil Pemimpin PT Hotel Prapatan-Jakarta. Di masa tuanya, ia kemudian mendirikan Hottel Hyatt Aryaduta.
Berkat jasa-jasanya yang teguh memperjuangkan kepentingan bangsa dan negara, BM Diah menerima Bintang Mahaputra Utama dari Presiden Soeharto pada 10 Mei 1978. Selanjutnya, menerima piagam penghargaan dan medali perjuangan angkatan ’45 dari Dewan Harian Nasional Angkatan 45 pada 17 Agustus 1995.
Sukses meneggakan Pers dan menjadi seorang pengusaha sukses, Diah pun runtuh oleh penyakit Stroke yang dideritanya. ia sempat dirawat di RS Siloam Gleneagles Tangerang 25 April 1996, kemudian dipindahkan ke RS Jakarta pada 31 Mei 1996 sampai akhirnya menghembuskan nafas terakhir.
BM Diah wafat pada usia 79 tahun, tepatnya 10 Juni 1996 pukul 03.00 dini hari. Mengingat akan jasa-jasanya ia pun dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata Jakarta Selatan.
Artikel ini ditulis oleh: