Jakarta, Aktual.com — “Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki.” (QS. Al Baqarah: 223).

Seorang istri diibaratkan sebagai sebuah ladang dimana sang suami dapat bercocok tanam sesukanya sebagaimana perintah yang telah Allah SWT tetapkan untuk mendatanginya dari arah manapun, kecuali melalui dubur. Itulah bagian dari hak seorang suami yang jika dijalankan oleh sang istri dengan penuh keridhaan maka akan berbuah pahala.

Bahkan, jika si istri menolak ajakan untuk hal tersebut, Malaikat pun akan ikut marah dan melaknat sang istri yang menolak suaminya tersebut.

Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Muhammad SAW, beliau bersabda:

“Jika seseorang suami memanggil istrinya ke tempat tidur (untuk bersetubuh) lalu istrinya enggan sehingga suami tidur dalam keadaan marah, niscaya para Malaikat akan melaknat si istri sampai pagi.” (HR Muslim (2/1060))

Namun demikian, ada suatu kondisi dimana sang istri memang tidak diperbolehkan untuk melayani kebutuhan suami yaitu saat haidh. Oleh sebab itu, penting bagi suami untuk mengetahui hukum dan aturan mengenai hal ini agar tidak terjerumus ke dalam kesalahan yang fatal. Mengapa demikian? Berikut Aktual.com sajikan ulasannya.

Penting untuk diketahui, jima’ dengan wanita haidh hukumnya haram. Sebagaimana firman Allah SWT,

وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ

“Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah haid itu adalah kotoran. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita diwaktu haid dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah SWT kepadamu.” (QS Al-Baqarah: 222)

“Hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita diwaktu haidh‘ maksudnya jima’ (di kemaluannya) khususnya karena hal itu haram hukumnya menurut ijma’. Pembatasan dengan kata “menjauh pada tempat haidh’ menunjukkan bahwa bercumbu dengan istri yang haidh, menyentuhnya tanpa berjima’ pada kemaluannya adalah boleh. (Tafsir As Sa’di jilid 1, hal 358)

Rasulullah SAW bersabda, “Lakukanlah segala sesuatu terhadap isterimu kecuali jima.” (Shahih Ibnu Majah no:527, Muslim I:246 no 302).

Dari penjelasan di atas, maka sang istri hendaknya menolak dengan halus jika suami menginginkannya dan menyampaikan dengan baik bahwa jima’ saat haid hukumnya haram baik bagi sang suami maupun sang istri.

Akan tetapi, kondisi ini tidak membatasi sang suami untuk tetap bercinta dengan istrinya tanpa jima’. Sebagaimana penjelasan Syaikh As sa’di dalam tafsirnya bahwa bercumbu dengan istri yang haid, menyentuhnya tanpa jima’ boleh.

Dari Aisyah RA mengatakan, bahwa “Rasulullah SAW memerintahkan kepadaku agar memakai kain sarung kemudian aku memakainya dan beliau menggauliku.” (Al Mughni (3/84), Al Muhadzab (1/187))

Dari Maimunah, ia mengatakan, “Sesungguhnya Rasulullah menggauli salah satu istrinya sedangkan ia haid, ia (istri) mengenakan kain sarung sampai pertengahan pahanya atau lututnya sehingga beliau menjadikannya sebagai penghalang.” (HR. Bukhari:64)

Hal ini sesuai dengan pernyataan Ustadzah Herlini Amran kepada Aktual.com, yang mengatakan, “Haram jima’ dengan istri yang haid jika dilakukan di vagina, boleh dilakukan bila suami mengeluarkan sperma melalui istrinya (baik dengan tangan istrinya atau anggota tubuh lainnya, red) kecuali di tempat yang terlarang seperti anus dan vagina saat haid,” ujar Ustadzah Herlini dihubungi Aktual.com di Jakarta, Rabu (27/8).

Hingga kemudian, kembali lagi melakukan jima’ ketika istri sudah dipastikan bersih dari haidnya.

فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ

“Apabila mereka telah suci maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah SWT kepadamu.” (QS Al Baqarah: 222)

“Sampai mereka suci‘ artinya bahwa darah mereka (wanita haid) telah berhenti, hilanglah penghalang yang berlaku saat darah masih mengalir. (Tafsir As Sa’di jilid 1,hal 358). Wallahu a’lam.

Artikel ini ditulis oleh: