Padahal, dasar pemberian SKL oleh BPPN adalah UU No 25 Tahun 2000, TAP MPR, Inpres No 8 tahun 2002, Keputusan KKSK dan rekomendasi  Menteri Negara BUMN. Telebih, Kejaksaan Agung melihat tidak ada peraturan yang dilanggar dalam pemberian SKL kepada Sjamsul Nursalim.

“Satu perkara yang sudah ditangani penegak hukum yang lain, seharusnya tidak boleh  ditangani lembaga lain. Dalam penegakan hukum ada kaidah etis yang sudah disepakati KPK, Kejaksaan Agung dan Polri.”

“Sehingga membuka kembali kasus yang sudah ditangani pihak lain, akan mendegradasi lembaga penegak hukum (Kejaksaan Agung) dan ini tidak elok.”

Meskipun, sambung dia, batasan etis, memang antar aparat sendiri yang harus memperhatikan. Agar ada saling menghargai antar institusi penegak hukum.

Dalam penangana kasus oleh Kejaksaan Agung sendiri, kata Irfan, institusi Adhiyaksa saat itu memiliki alasan kuat  menghentikan penyidikan, lantaran salah satu unsur yang esensial pada pasal 1 ayat (1) huruf a Undang-undang Nomor 3 tidak terbukti.

“Yakni dimana tidak ada unsur kerugian negara. Karena itu menurut KUHAP kalau tidak terbukti unsur deliknya maka harus dihentikan proses penyidikannya. Alasan kedua, keluarnya SP3 adalah Undang-undang Nomor 25 tahun 2000, yakni obligor yang kooperatif dan telah melunasi hutangnya tidak lagi dituntut pidana.”

Artikel ini ditulis oleh:

Reporter: Novrizal Sikumbang
Editor: Wisnu