Jakarta, Aktual.co —Ketika tren global memperlihatkan pergeseran konflik antar negara-negara adidaya dari daerah heartland  (daerah jantung) di kawasan Timur Tengah dan Asia Tengah, bergeser ke Asia Pasifik, sontak benak saya teringat kembali dengan Bung Karno, salah seorang pendiri bangsa sekaligus Presiden pertama RI.

Apa peran strategis yang bisa dimainkan oleh Indonesia tatkala konflik global antara Amerika Serikat versus Tiongkok di kawasan Asia Pasifik (baca: Indonesia) semakin menajam dalam beberapa tahun ke depan?

Untuk mencari jawab pertanyaan strategis ini, sekelumit kisah berikut, siapa tahu bisa menggugah sebuah inspirasi baru, agar Indonesia bisa menemukan kembali wibawanya di dunia internasional.

Cerita ini adalah seputar kemampuan Bung Karno meramalkan bakal pecahnya Perang Asia Timur Raya/Asia Pasifik pada dekade 1940-an. Seringkali hal ini disangkut-pautkan dengan ramalan Prabu Jayabaya atau aspek-aspek mistik lainnya. Sehingga kesan yang terbangun kemudian, kemampuan ramalan Bung Karno bakal pecahnya Perang Asia Pasifik yang kemudian beliau yakini akan menjadi momentum bagi Indonesia untuk menyatakan kemerdekaan Indonesia, seakan-akan merupakan kontribusi “dunia mistik” belaka. Tanpa melibatkan penalaran dan analisis sama sekali.

Benarkah memang demikian kenyataannya? Ternyata tidak juga. Dari berbagai informasi yang berhasil saya himpun dari berbagai sumber, Bung Karno bisa mengantisipasi bakal terjadinya pergolakan besar di kawasan Asia Pasifik bermula ketika membaca sebuah novel karya Hector Charles Bywater pada 1925. Jadi, sekitar 16 tahun sebelum meletusnya Perang Asia Timur Raya. Jika kita berpatokan sejak Jepang menyerang Pearl Harbour, Hawai pada Desember 1941.

Hector Charles Bywater Dan The Great Pacific War
Kadang dalam bacaan seorang yang jiwanya sudah tercerahkan seperti Bung Karno, meski hanya melalui bahan bacaan sebuah novel, seseorang bisa terinspirasi dan muncul sebuah kesadaran baru untuk membuat sejarah. Inilah yang terjadi pada diri seorang pemuda usia 20-an, Bung Karno, yang kelak menjadi Proklamator dan Presiden Pertama RI.

Charles Hector Bywater, dialah penulis novel The Great Pacific War, yang memicu kesadaran baru Bung Karno, bakal meletuskan perang Pacific dan momentum bagi Indonesia untuk merdeka.

Bywater lahir pada 1884 dan meninggal pada 1940. Wartawan Perang yang menggeluti bidang angkatan laut ini, pada usia 19 memulai debutnya di harian The New York Herald. Dan pernah meliput perang Jepang-Rusia yang meletus pada 1904 dan dimenangkan Jepang pada 1905. 

Sebelum menerbitkan novelnya yang inspiratif The Great Pacific War, Bywater bekerja di London sebagai analis data dan dokumen yang ada di angkatan laut kerajaan Inggris. Juga sebagai koresponden Harian The London Daily Telegraph.

Buku The Great Pacific War itu sendiri, meski hanya sebuah novel, ternyata isinya semacam simulasi mengenai kemungkinan pecah perang antara Amerika dan Jepang, serangkaian gambaran secara rinci serangkaian kegiatan yang mendorong terkondisinya Perang Pasifik.

Dan seperti sejarah membuktikan, ramalan Bywater benar adanya. Dan sejak 1925, diyakini Bung Karno kebenarannya, sehingga dalam berbagai kesempatan, Bung Karno mengatakan dengan penuh keyakinan bahwa ketika pihak Imperialisme Barat berperang dengan Jepang di kawasan Pasifik, nah saat itulah Indoensia akan menyatakan diri sebagai negara merdeka.

Yang menarik, selepas perang Dunia II, baik Jepang maupun Amerika Serikat sama-sama menganggap penting dan bermanfaat sekali buku The Great Pacific War sebagai sumber utama dan sebagai bahan bagi penyusunan rencana strategi militer.

Saya sudah bisa bayangkan apa kemudian berkecamuk dibenak Bung Karno seusai membaca novel Bywater pada 1927, dua tahun setelah novel ini terbit. Ketika menyadari bahwa Bywater melalui novel ini sebenarnya bermaksud menggambarkan simulasi terjadinya Perang Asia Pasifik, maka Bung Karno yang sejak usia dini sudah terlatih membaca gejala-gejala sosial maupun alam secara intuitif, tidak sekadar rasio dan logika, pastinya dengan mudah akan menyimpulkan bahwa Bywater yang sejatinya merupakan wartawan perang ketimbang semata-mata seorang novelis, bermaksud menyampaikan sebuah informasi intelijen klasifikasi A-1 yang disamarkan melalui sebuah novel bertajuk The Great Pacific War.

Begitulah. Batin atau rohani yang terbuka terhadap sarana-sarana informasi yang tersedia maupun gagasan gagasan inspiratif melalui buku/majalah, bisa melahirkan orang-orang yang menciptakan sejarah. Dalam kasus Bapak pendiri bangsa Indonesia, sebuah novel pun ternyata bisa menggugah dan member inspirasi pada Presiden pertama RI tersebut.

Ternyata seseorang sekalibier Bung Karno, bisa tercerahkan pikiran dan jiwanya bukan oleh sebuah buku karya Ilmuwan yang bergelar Ddan asyik sama dirinya sendiri, melainkan gara gara sebuah buku novel karya seorang wartawan perang Inggris yang kebetulan secara intensif menekuni bidang militer, khususnya angkatan laut, dan intelijen.

Sehingga Bung Karno bisa meramal bakal pecah perang pasifik antara Amerika dan Jepang, dan karenanya melihat peluang buat Indonesia merdeka. Yang lebih menakjubkan lagi, Bung Karno membaca karya Bywater ini pada 1927, berarti ketika Bung Karno berusia 26 tahun.

Sayang sekali, Bung Karno tak sempat bertemu muka secara langsung dengan Bywater.  Sebab pas pecah Perang Pasfik dan Jepang menginvasi Indonesia pada 1942, Bywater keburu meninggal karena koresponden Harian The London Daily Telegraph tersebut meninggal pada 1940. Jadi dua tahun sebelum Jepang menginvasi Indonesia.

Bukti nyata bahwa novel karya Bywater tersebut sejatinya merupakan kisah nyata dan bukan fiktif, terungkap setelah berakhirnya Perang Dunia II. Ketika Amerika dan Jepang sama-sama mengakui bahwa buku karya Bywater ini merupakan sumber utama bagi kedua negara dalam merancang strategi militer selama perang tersebut berkecamuk.

Pesan moral dari kisah ini untuk kita-kita saat ini tentunya amat penting. Betapa ternyata,  intelektual dan politisi kelas satu sekaliber Bung Karno, bisa tercerahkan jiwa dan pikirannya justru oleh buku novel karya seorang wartawan perang yang kebetulan menekuni berbagai seluk beluk kemiliteran khususnya angkatan laut dan intelijen. Dan bukan dari seorang ilmuwan teoritis yang asyik sendiri di kampus atau menara gading.

Oleh: Redaktur Senior Aktual, Hendrajit