Palu, Aktual.com – Polisi menyatakan kelompok militan bersenjata Mujahidin Indonesia Timur (MIT) di Sulawesi Tengah telah habis menyusul tewasnya buronan terakhir yang selama ini bersembunyi di pegunungan.

Al Ikhwarisman alias Jaid, pria 34 tahun yang dijuluki Pak Guru, tewas dalam baku tembak dengan anggota Detasemen Khusus Antiteror (Densus) 88 dalam patroli sebagai bagian dari Operasi Madago Raya di Kecamatan Poso Pesisir Utara, Poso pada Kamis (29/9) sekitar pukul 18.20 WITA.

“Dengan tewasnya Jaid menandakan DPO (daftar pencarian orang) MIT telah habis,” kata Kapolda Sulawesi Tengah Irjen. Pol. Rudy Sufahriadi kepada wartawan di Palu.

“Semoga ini sudah akhir dari perburuan DPO itu. Dan tentu ini menjadi keberhasilan semua pihak,” ujarnya.

Anggota senior MIT

Kabid Humas Polda Sulteng, Kombes Didik Supranoto mengatakan bahwa Jaid adalah pengikut senior MIT yang bergabung sejak awal kelompok itu dibentuk dan terlibat serangkaian aksi teror.

Didik mengatakan bahwa Densus 88 menemukan satu pucuk senjata revolver organik besertas amunisi dan tiga buah bom lontong aktif di tas ransel Jaid.

“Riwayatnya mahir membuat bom, makanya kemana-mana dia pasti membawa bom rakitan,” kata Didik.

Sementara itu, Rudy mengatakan sudah lama menjajaki pergerakan Jaid di hutan pegunungan Poso setelah rekan MIT lainnya yang bernama Nae alias Galuh dinyatakan tewas akibat luka tembak.

“Sampai sekarang kan jenazah Nae itu tidak ditemukan oleh satgas Operasi Madago Raya di Poso. Semoga saja dugaan Nae itu tewas betul, sehingga berakhir sudah perburuan DPO MIT di Sulawesi Tengah,” kata Adhe kepada BenarNews.

PAKAR mengatakan simpatisan MIT masih memiliki dukungan, khususnya di Poso, Bima di Nusa Tenggara Barat dan Makassar di Sulawesi Selatan.

“Nah, itu menjadi pekerjaan rumah aparat keamanan kita sehingga simpatisan di tiga wilayah itu tidak memberikan kontribusi baru,” ungkap Adhe.

Analis Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC), Deka Anwar, menilai meski buronan MIT telah tewas, belum bisa dipastikan ancaman terorisme sudah berakhir di Poso.

Menurutnya, mungkin saja tidak dalam waktu dekat. Namun, jaringan simpatisan dan ideologi masih ada, terutama di Bima.

“Tapi memang selama beberapa tahun belakangan aparat keamanan berhasil mencegah orang-orang dari jaringan tersebut untuk ke Poso bergabung dengan MIT,” ujar Deka kepada BenarNews.

IPAC melihat Poso akan tetap menjadi magnet untuk para militan terutama yang memiliki hubungan relasi dengan pelaku konflik sektarian di masa lalu.

“Pencegahan penting dilakukan aparat keamanan, termasuk memantau jaringan MIT yang ada di luar Poso, seperti di Bima dan provinsi lainnya,” kata Deka.

Saat ini, lanjutnya, aparat keamanan khususnya Polri harus fokus terhadap pendanaan terrorisme dan mencegah penggalangan dana oleh kelompok militan.

“Karena dengan adanya mereka, kelompok itu bisa tetap survive. Dan tujuan pendanaan terorisme bukan hanya untuk aksi terorisme, tetapi untuk menjaga anggota jaringan tetap loyal, baik yang sedang di penjara, ataupun anak, istri, dan keluarga,” ungkap Deka.

MIT terbentuk pada tahun 2010, berakar pada konflik berdarah antara komunitas Muslim-Kristen di Poso yang menewaskan lebih dari 1.000 orang antara tahun 1998 dan 2001.

Kelompok ini dikenal karena aksi pembunuhan yang kejam terhadap warga terutama yang mereka anggap sebagai informan aparat keamanan.

Pada 2015, pemerintah membentuk pasukan gabungan TNI-polisi dibawah komando Camar Maleo untuk menumpas MIT yang saat berada dibawah pimpinan Santoso atau Abu Wardah memiliki anggota hingga 40-an orang termasuk warga Uighur dari China.

Pada tahun 2016, operasi tersebut diperpanjang dengan nama Operasi Tinombala dan pada Juli 2016 berhasil membunuh Santoso, pimpinan militan pertama yang berbaiat kepada kelompok ekstrim ISIS.

MIT, disamping Jamaah Ansharut Daulah – yang berada dibalik sejumlah serangan teror di Indonesia sejak 2016, merupakan dua kelompok militan di Indonesia yang terafiliasi ISIS.

Walaupun Santoso telah tewas dan anggota MIT terus berkurang hingga di bawah 10 orang, kelompok tersebut masih tetap berhasil melakukan

Pada November 2020, anggota MIT membakar sejumlah rumah dan membunuh empat warga di Kabupaten Sigi yang berbatasan dengan Poso.

Operasi pengejaran terhadap MIT terus berlangsung yang pada awal 2021 berganti dengan nama Madago Raya, yang dalam bahasa Poso berarti “baik hati dan dekat dengan masyarkat.”

Operasi berlanjut

Kapolda Rudy mengatakan operasi keamanan di Poso kemungkinan masih akan dilanjutkan, namun pihaknya akan berkoordinasi dulu dengan Mabes Polri.

“Akan dilakukan operasi yang lain, bukan lagi soal kejar DPO MIT. Karena masih banyak simpatisan yang akan kita bina dengan baik,” ujarnya.

Pengamat terorisme dari Universitas Islam Negeri Datokarama Palu, Lukman S. Thahir, mengatakan bahwa petugas keamanan masih punya pekerjaan untuk memastikan warga yang masih menjadi simpatisan atau terpapar paham radikalisme tidak menjadi ancaman.

“Mungkin digelar operasi lanjutan namun orientasinya atau programnya diarahkan pendampingan dan pemberdayaan agar tidak ada sel terorisme baru tumbuh di Poso,” ujarnya.

Adhe dari PAKAR mengatakan pemerintah harus serius memberikan perhatian kepada korban MIT, tidak hanya dari warga sipil, namun juga dari aparat keamanan.

“Karena di Poso masih banyak juga korban MIT yang tidak mendapatkan bantuan. Padahal mereka wajib mendapatkan kompensasi sebagaimana tertuang dalam undang-undang,” katanya.

BenarNews.org