Direktur Center for Budget Analysis (CBA), Uchok Sky Khadafi

Jakarta, aktual.com – Direktur Eksekutif Center for Budget Analisis (CBA) Uchok Sky Khadafi menyarankan agar Partai Amanat Nasional (PAN) mengembalikan dana bantuan yang setiap tahun diterima dari pemerintah.

Hal itu dikatakan Uchok karena partai yang dipimpin Zulkifli Hasan itu diduga tidak punya legalitas yang sah.

“Kalau memang legalitas PAN cacat hukum…sebaiknya duit yang diterima dikembalikan kepada negara,” kata Uchok melalui pesan WhatsApp, Sabtu (30/12/2023).

Meski demikian Uchok menduga, karena saat ini PAN dekat atau bagian dari pemerintahan Jokowi, maka partai tidak akan mau melakukan itu.

“PAN akan cuek saja, dan tidak perduli meski hukum lebih tinggi dari politik,” katanya.

Untuk diketahui, setiap tahun pemerintah memberikan bantuan kepada sembilan Parpol yang memenuhi parliament threshold pada Pemilu 2019, dan punya perwakilan di DPR. Besar dana yang diterima disesuaikan dengan jumlah suara yang diperoleh.

Pada tahun 2022, menurut data yang diperoleh, PAN menerima bantuan sebesar Rp9,57 miliar. Begitupula pada tahun 2023 ini.

Sebelumnya, Ketua Gerakan Perubahan Muslim Arbi menilai, legalitas PAN cacat hukum karena AD/ART yang diaktakan di notaris dan didaftarkan ke Kemenkumham setelah Kongres l1 pada tahun 2005 ternyata akta hasil kongres I yang diubah secara ilegal, bukan AD/ART hasil Kongres II, sehingga ketika digugat ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) oleh Hamid Husein, salah satu pendiri PAN, melalui putusan No.1129/Pdt. G/2008/PN Jkt.Sel, Pn Jaksel menyatakan AD/ART itu bertentangan dengan hukum dan tidak memiliki kekuatan hukum.

Atas putusan tersebut, Ditjen Administrasi Hukum Umum (AHU) Kemenkumham berkirim surat ke DPP PAN agar menyerahkan AD/ART hasil Kongres Il yang asli untuk memperbaiki SK yang telah terlanjur diterbitkan Menkumham untuk akta AD/ART yang bermasalah tersebut. SK Menkumham yang diterbitkan bernomor M-03.UM.06.08 tanggal 8 juni 2005.

Namun, allh-alih memenuhi permintaan Ditjen AHU Kemenkumham, DPP PAN malah melakukan perlawanan untuk membatalkan putusan PN Jaksel, dan tetap menggunakan AD/ART yang telah dinyatakan bertentangan dengan hukum dan tidak mempunyai kekuatan hukum oleh pengadilan itu sebagai dasar melaksanakan kongres Ill pada tahun 2010.

Kongres I mengubah akta AD/ART PAN bodong yang oleh PN Jaksel dinyatakan bertentangan dengan hukum dan tidak mempunyai kekuatan hukum, sehingga menghasilkan AD/ART baru untuk kepengurusan periode 2010-2015 yang diaktakan di notaris Emi Susilowati SH dengan nomor 4 tanggal 8 maret 2010, dan didaftarkan ke Kemenkumham.

Pada 18 Juli 2013, Mahkamah Agung (MA) menerbitkan putusan No.190.K/Pdt.Sus-Parpol/2013 yang menolak perlawanan DPP PAN, dan ditindaklanjuti oleh Ditjen AHU Kemenkumhan dengan kembali meminta agar DPP PAN menyerahkan AD/ART hasil Kongres II yang asli untuk memperbaiki SK Menkumham yang telah diterbitkan untuk AD/ART hasil Kongres II yang ternyata bodong, tetapi diabaikan DPP PAN, dan malah partai berlambang Matahari Terbit itu menggelar Kongres IV pada Maret 2015 dengan menggunakan Akta AD/ART hasil Kongres III.

Tak hanya itu, dengan menggunakan AD/ART hasil Kongres IV yang merupakan perubahan dari AD/ART hasil Kongres III, DPP PAN menyelenggarakan Kongres V dan menghasilkan AD/ART baru dari hasil perubahan AD/ART hasil Kongres IV Pemilu 2009, 2014, 2019 dan 2024.

Muslim mengatakan, karena AD/ART PAN hasil Kongres II, IV dan V didasarkan.pada AD/ART Kongres I1 yang bodong dan yang oleh pengadilan dinyatakan bertentangan dengan hukum dan tidak mempunyai kekuatan hukum, maka AD/ART hasil Kongres II, IV dan V cacat hukum.

“Kongres IlI, IV dan V berangkat dari AD/ART Kongres Il yang tidak sah, itu berarti cacat hukum. Artinya, sebagai Parpol PAN harus mempertegas diri untuk taat hukum yang artinya secara internal harus menaati proses AD/ART yang legal, yang sah secara konstitusi partai. Kongres-kongres itu hasilnya tidak sah, berarti bila mengacu pada undang-undang Pemilu, PAN tidak berhak ikut Pemilu,” katanya, Kamis (28/12/2023).

Menurut dia, dengan PAN tetap dapat ikut Pemilu 2009, 2014, 2019 dan 2024, berarti pemerintah mentolerir keberadaan partai yang secara hukum tidak sah itu. la curiga hal ini terjadi karena pemerintah menganggap PAN sebagai teman. Apalagi karena ketua umumnya, Zulkifli Hasan, menteri di kabinetnya.

“Kasus PAN ini menjadi bukti kuat bahwa negara kita ini tidak lagi berdasarkan hukum, melainkan berdasarkan kekuasaan, sehingga hukum cenderung dikesampingkan,” katanya

Muslim juga menunjukkan bukti lain kalau Indonesia memang bukan lagi negara hukum, melainkan negara kekuasaan, yaitu adanya pasangan calon yang cacat secara hukum, karena didasari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang dilandasi nepotisme. Pasangan dimaksud adalah pasangan nomor urut 2 Prabowo Subianto – Gibran Rakabuming Raka. Pasangan ini diusung Koalisi Indonesia Maju yang terdiri dari Gerindra, Golkar, PAN dan Demokrat, serta didukung PBB, Partai Gelora, Hanura dan PSICalon yang cacat secara hukum tersebut adalah Gibran Rakabuming Raka, karena dia bisa menjadi Cawapres Prabowo berkat putusan Nomor 90/PUU- XXI2023 yang dibuat pamannya, yakni Ketua MK Anwar Usman. Putusan ini dinilai cacat hukum karena hubungan kekeluargaan Anwar dan Gibran (nepotisme), juga karena putusan itu melampaui kewenangan MK sebagai lembaga yang menguji undang-undang.

Meski tidak punya kewenangan mengubah norma dalam undang-undang, Anwar mengubah norma pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang mengatur persyaratan Capres-Cawapres. pasal 169 huruf q semula hanya mengatur bahwa usia Capres/Cawapres minimal 40 tahun, tapi oleh putusan MK nomor 90 ditambah syarat alternatif dimana siapapun yang pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum, termasuk kepala daerah, bisa menjadi Capres/Cawapres.

Karena putusan kontroversial ini, Gibran yang masih berusia 36 tahun dan sedang menjabat sebagai walikota Solo, dapat menjadi Cawapres, sementara Anwar dicopot dari jabatan ketua MK oleh Mahkamah Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) karena dinilai melakukan pelanggaran berat.

Muslim menyoroti KPU yang menerima dan mengesahkan pencalonan Prabowo-Gibran, meski untuk itu KPU harus merevisi peraturannya sendiri, yaitu PKPU Nomor 19 Tahun 2023 yang menetapkan bahwa usia Capres/Cawapres minimal 40 tahun, menjadi PKPU Nomor 23 Tahun 2023 untuk mengakomodir putusan MK nomor 90.

Dampak dari tindakan KPU ini adalah seluruh pimpinannya dilaporkan ke Dewan Pengawas Penyelenggara Pemilu (DKPP) karena dinilai melakukan pelanggaran etik.

“Jadi, Pemilu ini cenderung melegitimasi negara kekuasaan, bukan negara negara hukum,” tegas Muslim.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Rizky Zulkarnain