(3) sekedar untuk diingat
Sebagaimana dicatat, program restrukturisasi dan rekapitalisasi — usaha yang sangat sensitif secara politis – dilaksanakan di bawah empat presiden yang berbeda, dan melalui perubahan mendasar dalam sistem politik. Karena skandal ini menjadi ukuran keberhasilan kinerja dan hasil dari pemerintah (dan Program). Kesuksesan skandal ini telah diberi penghargaan sebagai proses yang hebat dalam orde reformasi ini.
Proses ini dimulai di bawah Presiden Soeharto dengan sistem presidensial terpusat memutuskan penutupan 16 bank awal (November 1997), keputusan tentang jaminan menyeluruh dan pendirian BPPN (Januari 1998), dan pemindahan kelompok pertama PT bank ke BPPN.
Setelah pengunduran diri Presiden Soeharto, restrukturisasi dan rekapitalisasi dilanjutkan di bawah Presiden Habibie, diikuti kemudian oleh Presiden Wahid dan selanjutnya Megawati.
Sistem politik berkembang menjadi menjadi semakin majemuk, dengan peran yang lebih besar dimainkan oleh Parlemen dan partai-partai politik terwakili di sana — seluruhnya terlibat langsung pada proses restrukturisasi dan rekapitalisasi. Mulailah proses ini menjadi bancakan preman politik reformasi dalam situasi yang kisruh.
Dengan bernagai alasan akhirnya biaya rekapitulasi dibebankan seluruhnya kepada pemerintah. Setelah operasi bendera palsu “selimut jaminan” yang diberikan oleh pemerintah gagal menyelamatkan 16 bank swasta yang terpaksa ditutup pada bulan November 1997. Hasilnya biaya rekapitalisasi adalah tanggung jawab penuh pemerintah.
Biaya-biaya ini termasuk pembayaran bunga berkelanjutan pada obligasi rekapitalisasi, yang merupakan biaya bagi pemerintah kepada publik Indonesia; Bagian lain (sangat signifikan) dari suntikan likuiditas BLBI tidak pernah dilunasi oleh bank pemilik; dan sebagian terkait kerugian yang terjadi dalam disposisi NPL (perbedaan antara buku mereka nilai dan harga pasar pada disposisi). Skandal berlipat ganda.
Artikel ini ditulis oleh: