Jakarta, Aktual.com – China mengintensifkan kampanyenya untuk mempengaruhi serta memanipulasi berita dan informasi di seluruh dunia, dengan menggunakan segala cara untuk memproyeksikan citra positif dirinya di luar negeri, demikian organisasi pengawasan yang berbasis di AS dalam sebuah laporan yang dirilis bulan ini.

Di Asia Tenggara, Indonesia dan Malaysia rentan terhadap kampanye pengaruh Beijing dari awal 2019 hingga akhir tahun lalu, sementara Filipina lebih tangguh, demikian laporan yang dirilis Freedom House, sebuah organisasi nirlaba yang berkantor pusat di Washington.

“Pemerintah China, di bawah kepemimpinan Presiden Xi Jinping, melakukan kampanye besar-besaran untuk mempengaruhi outlet media dan konsumen berita di seluruh dunia. Sementara beberapa aspek dari upaya ini menggunakan alat diplomasi publik tradisional, yang lainnya banyak dilakukan secara terselubung, koersif, dan berpotensi korup,” kata laporan itu dalam memberikan gambaran tentang pengaruh media Beijing di seluruh dunia.

“Semakin banyak negara yang menunjukkan perlawanannya (terhadap propaganda China) dalam beberapa tahun terakhir, tetapi Beijing menggunakan taktik yang semakin canggih, lebih agresif, dan lebih sulit untuk dideteksi.”

Laporan tersebut mengkaji upaya Partai Komunis China (PKC) untuk mempengaruhi media dan konsumen mulai 1 Januari 2019, hingga akhir Desember 2021 dan menemukan bahwa pemerintah China meningkatkan jejak media globalnya di 29 negara dan Taiwan dalam periode itu.

“Sejak awal 2000-an, atas instruksi dari para pemimpin puncak, pejabat PKC telah menginvestasikan miliaran dolar dalam kampanye yang lebih ambisius untuk membentuk konten dan narasi media di seluruh dunia dalam berbagai bahasa,” kata laporan itu.

PKC telah mempercepat kampanye pengaruh media asingnya bersamaan dengan penurunan reputasi global China dan presidennya, terutama di antara orang-orang yang tinggal di negara-negara demokrasi parlementer.

“Misi ini telah mendapatkan urgensi dan signifikansi sejak 2019, karena masyarakat global telah menunjukkan simpati terhadap pengunjuk rasa pro-demokrasi di Hong Kong, dan orang-orang Uyghur yang ditahan di Xinjiang, serta menyalahkan otoritas China karena menyembunyikan informasi awal pandemi COVID-19.”

Sebagai bagian dari kampanye itu, diplomat China dan media pemerintahnya telah “secara terbuka menebarkan kepalsuan atau konten yang menyesatkan,” kata laporan itu.

“Ada upaya bersama untuk menutupi dan menyangkal kekejaman atas hak asasi manusia dan pelanggaran hukum internasional yang dilakukan terhadap anggota kelompok etnis dan agama minoritas di Xinjiang,” kata Freedom House, menyebut hal itu “adalah hal yang paling menggangu yang dihasilkan dari kampanye pengaruh media global.”

Bulan lalu, ketua hak asasi manusia PBB mengeluarkan laporan yang memberatkan, yang menyimpulkan bahwa penindasan China terhadap Uyghur dan minoritas Turki lainnya di Daerah Otonomi Uyghur Xinjiang (XUAR) “kemungkinan merupakan kejahatan internasional, khususnya kejahatan terhadap kemanusiaan.”

Pihak berwenang China diduga menahan hingga 1,8 juta Muslim dan minoritas lainnya di kamp-kamp pengasingan, demikian laporan PBB. Mereka yang ditahan telah mengalami penyiksaan, sterilisasi paksa, dan kerja paksa, serta penghapusan bahasa, budaya dan agama mereka.

Menanggapi pertanyaan wartawan di Beijing, juru bicara Kementerian Luar Negeri China Mao Ning menepis temuan Freedom House itu, sebaliknya mengklaim bahwa LSM tersebut memiliki “rekam jejak panjang dalam membuat tuduhan palsu tentang isu terkait China. Laporan ini tidak berdasarkan fakta dan didorong oleh motif tersembunyi.”

“Menceritakan kisah Partai Komunis China dan menyajikan citra Tiongkok yang sesungguhnya dari segala sudut kepada dunia adalah bagian tak terpisahkan dari pekerjaan media Tiongkok dan layanan asing,” kata Mao Ning, menurut sebuah transkrip konferensi pers harian yang diposting di situs web kementerian luar negeri.

“Apa yang kami bagikan dengan dunia adalah fakta, angka yang sebenarnya, contoh nyata, dan kebenaran yang jelas. Itu semua benar-benar berbeda dari apa yang disebut ‘upaya mempengaruhi’ atau ‘disinformasi’ dalam laporan tersebut.”

Indonesia, Malaysia dan Filipina

Menurut laporan Freedom House, Indonesia dan Malaysia yang berpenduduk mayoritas Muslim termasuk di antara setidaknya 16 negara yang ditemukan rentan terhadap pengaruh propaganda Beijing, sementara Filipina terdaftar sebagai “kuat” – dalam artian tidak mudah dipengaruhi.

Jurnalis, influencer, pemimpin Islam, politisi, dan mahasiswa asal Indonesia dan Malaysia berpartisipasi dalam sebuah kunjungan ke Xinjiang yang dibiayai Beijing untuk menghadirkan perspektif terkait wilayah yang dikendalikan oleh negara itu. Beberapa dari mereka yang ikut dalam kegiatan tersebut kembali dengan pemikiran dukungan atas Beijing termasuk penolakan akan adanya pelanggaran hak asasi manusia di XUAR, kata laporan itu.

Namun upaya itu tidak meredam kemarahan penduduk Muslim di negara-negara Asia Tenggara, menurut laporan itu.

Freedom House mengatakan banyak orang Indonesia sebagian besar tetap skeptis terhadap China, sementara liputan media lokal tentang Xinjiang tetap kritis dimana laporan pelanggaran di XUAR telah menjadi viral di media sosial.

Sementara upaya pengaruh pemerintah China meningkat dengan kesepakatan baru antara media pemerintah kedua negara, laporan tersebut mengatakan jumlah orang Indonesia yang menyebut China sebagai “kekuatan revisionis” telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir.

Di Malaysia, di mana seperempat populasinya adalah etnis Tionghoa, orang-orang skeptis terhadap narasi Beijing bahkan ketika laporan tersebut mencatat bahwa “90 persen media berbahasa China di negara itu dimiliki oleh taipan China-Malaysia yang memiliki kepentingan bisnis yang kuat di China. ”

“Garis editorial dari outlet-outlet ini didominasi oleh narasi pro-Beijing dan media berbahasa Mandarin tidak banyak mempublikasikan topik sensitif secara politik dibandingkan dengan media dalam bahasa Inggris dan Melayu,” kata laporan itu, menambahkan bahwa liputan kritis telah muncul di outlet media besar lainnya. melalui kabel berita internasional.

Namun, “tampaknya ada budaya sensor diri di antara jurnalis berbahasa Melayu dan China yang waspada bahwa liputan kritis dapat mengakibatkan pembalasan atau merusak hubungan bilateral,” katanya.

Di Filipina, kehadiran kampanye disinformasi terkait Beijing signifikan tetapi tampaknya tidak efektif, kata laporan itu.

“Data yang tersedia menunjukkan bahwa orang Filipina telah beralih dari menganggap pemerintah China sebagai pengaruh atau model positif dan bahwa mereka lebih memilih Amerika Serikat dan negara lain sebagai mitra,” kata laporan itu.

“Orang Filipina menunjukkan skeptisisme yang meluas terhadap narasi media pemerintah China, terutama di tengah perselisihan teritorial yang memburuk antara kedua negara di Laut China Selatan.”

Setidaknya 36 anggota media Filipina yang ikut dalam kunjungan ke China pada 2019 yang dibiayai Beijing di mana “beberapa peserta menyuarakan pandangan pemerintah China sekembalinya mereka,” kata Freedom House.

Pengaruh media

Kampanye global oleh Beijing secara besar-besaran ditargetkan ke Taiwan, Inggris, dan Amerika Serikat, negara-negara yang termasuk paling tangguh dalam menahan pengaruh itu.

Ketiganya bersama dengan Australia telah menghadapi “taktik yang lebih agresif, konfrontatif, atau sembunyi-sembunyi,” kata laporan itu, memprediksi bahwa tren tersebut kemungkinan akan meluas ke negara lain.

Taktik pengaruh China termasuk mengintimidasi jurnalis dan outlet media, memblokir situs web, melecehkan koresponden asing, menyebarkan serangan siber, dan penyalahgunaan troll online, manipulasi media sosial oleh influencer yang disewa dan kampanye disinformasi yang ditargetkan, di antara metode lainnya, menurut Freedom House.

Para peneliti, jurnalis, dan pembuat kebijakan di lebih banyak negara akan melihat peningkatan taktik semacam itu, demikian Freedom House memperingatkan.

Laporan tersebut mendapati bahwa kemampuan pemerintah-pemerintah di negara itu untuk melawan upaya pengaruh media agresif PKC masih “sangat tidak merata.” Freedom House memperingatkan bahwa respons yang tidak memadai dapat membuat negara-negara tersebut rentan.

Freedom House menyerukan adanya “respons yang terkoordinasi,” termasuk membangun keahlian independen dalam negeri di China, mendukung jurnalisme investigasi dan perlindungan mendasar untuk kebebasan pers.

Freedom House menemukan bahwa jurnalis melaporkan pengaruh PKC dan perilaku koersif di negara mereka serta proyek atau investasi terkait China untuk mengekspos korupsi, pelanggaran hak-hak buruh, kerusakan lingkungan dan bahaya lainnya, tetapi tetap waspada terhadap kampanye disinformasi Beijing.

“Keberhasilan upaya Beijing sering bisa dicegah oleh media independen, aktivitas masyarakat sipil, dan undang-undang setempat yang melindungi kebebasan pers,” ungkap laporan itu.

(Sumber: BenarNews.org)