Jakarta, Aktual.com – Saudaraku, kebanyakan penyakit timbul karena kalbu yang kusut. Kekusutan jiwa dihantarkan ke dalam tubuh, menimbulkan ketegangan antara hati yang sakit serta tubuh yang sehat, berujung pada kerontokan. Obat yang paling mujarab untuk sakit mental, menurut Sigmund Freud, adalah cinta. Sedemikian kuatnya daya kuratif cinta sehingga Freud memandang “psikoanalisis pada hakikatnya merupakan pengobatan lewat cinta”.
Cinta menimbulkan banyak perbedaan. Orang yang bangkit dari keterpurukan kerap menuding kasih orangtua atau gurulah yang memotivasi untuk berubah positif. “Politik Etis” di masa kolonial menghadirkan jalan cinta sebagai koreksi terhadap ketamakan rezim liberalisme. Jalan cinta inilah yang membuka jalan pembebasan Indonesia.
Cinta jualah yang menjadi dasar mengada dan menumbuhkan negara-bangsa Indonesia. Bung Hatta mengingatkan, “Indonesia luas tanahnya, besar daerahnya, dan tersebar letaknya.” Pemerintahan negara semacam itu hanya dapat diselenggarakan mereka yang mempunyai tanggung jawab yang sebesar-besarnya dan mempunyai pandangan amat luas. Rasa tanggung jawab itu akan hidup dalam dada jika kita sanggup hidup dengan memikirkan lebih dahulu kepentingan masyarakat, keselamatan nusa, dan kehormatan bangsa.
Atas dasar itu, Bung Karno pernah menyesalkan pudarnya jiwa cinta kerakyatan para pemimpin kita. “Berapa orangkah dari alam pemimpin Indonesia sekarang ini yang masih benar-benar ‘rakyati’ seperti dulu, masih benar-benar ‘volks’ seperti dulu?” Padahal, menurut Bung Karno, “Dulu itu kita semua adalah ‘rakyati’, dulu itu kita semua adalah ‘volks’. Api pergerakan kita dulu itu kita ambil dari dapur apinya rakyat. Segala pikiran dan angan-angan kita dulu itu kita tujukan kepada kepentingan rakyat. Tujuan pergerakan kita dulu itu ialah satu masyarakat adil dan makmur bagi rakyat. Segala apa-saja sebagai hasil penggabungan tenaga rakyat dulu kita pakai sebagai alat perjoangan. Segenap kekuatan perjoangan kita dulu itu adalah kekuatan rakyat.”
Beruntunglah, di tengah kemarau cinta di aras kekuasaan politik, kita masih menyaksikan ketahanan daya cinta di masyarakat. Di tengah cengkeraman korupsi, kekerasan, dan mafioso, negeri ini masih menyimpan banyak pejuang cinta tanpa pamrih, yang dengan kekuatan cintanya mampu menyirami bumi yang kering, merenda kembali dunia yang terkoyak. Bahkan Indonesia dinilai sebagai negara yang paling kreatif dalam menggunakan media sosial untuk gerakan sosial.
Cinta memperoleh pemenuhannya bukan pada apa yang bisa ia dapatkan, melainkan pada apa yang bisa ia berikan. Mencintai sesuatu berarti menginginkannya hidup. “Apa yang kuharap dari anakku, sudahkah kuberikan teladan baginya. Apa yang kuharap dari rakyatku, sudahkah kupenuhi harapan mereka,” ujar Lao Tzu.
Ujian cinta dibuktikan oleh pengorbanan dan penghormatan pada dignitas kemanusiaan. Manakala bumi kering, jutaan rakyat terempas dan terhinakan, saatnya kita mengisi kembali baterai cinta, dengan menghidupkan semangat silih asih, silih asah dan silih asuh, demi kesuburan negeri tercinta. “Cintailah satu sama lain,” ujar Yesus dalam Perjanjian Baru (John 13: 34). Nabi Muhammad menggemakan anjuran ini dengan sabda, “Engkau akan melihat orang beriman dalam perangai belas kasih, saling mencintai serta berbagi kebaikan satu sama lain.”
Makrifat Pagi
Ditulis Oleh: Yudi Latif